Menunggu
Cerpen
karya Eka Sutrisni (E.S Aquarius)
Penatnya
udara sore hari yang begitu membakar tubuh yang halus dan lembut, membuat
kekeringan ditenggorokan yang sakit. Diruangan kelas yang dingin menjadi panas
dengan suasana yang begitu menerkam hati dan pikiran. Ucapan-ucapan yang
terlontar dari berbagai bentuk bibir, membuat dada menjadi penat dan sesak.
Anak-anak
Junior yang menanti akan jawaban pasti harus merasakan panasnya ruangan yang
ber-AC. Satu jam pun telah berlalu, tetapi tidak ada satu pun senior yang
memberi kepastian. Pertanyaan pun terlontar dari salah satu mahasiswa yang
menanti akan kepastian.
“Bagaimana
Kak? Apakah kita jadi pergi? Hari sudah semakin sore.”
Pertanyaan
yang keluar itu membuat senior mereka bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Sabar,
Dek. Kakak juga lagi menunggu keputusan rapat tersebut.”
Bingung
dan resah yang dialami Paijo membuat hatinya kesal dan marah. Dia pun langsung
mendatangi ruangan yang sedang mengadakan rapat kepastian.
“Sudah
belum rapatnya? Perasaan dari tadi tidak selesai-selesai.” Kekesalan yang
dirasakan oleh anak-anak Junior pun terucap oleh Paijo.
“Sabarlah,
ini juga lagi dibicarakan.” Samsi pun kesal dengan desakan Paijo.
“Dari
tadi anak-anak sudah tidak sabar lagi menunggu kepastian. Kalau tidak jadi
sudah, jangan buat orang-orang menunggu.” Paijo mulai memanas dengan nada
sabar.
“Sabar,
Jo. Aku tahu, kau didesak terus sama anak-anak itu. Sekarang ini, kita semua
sedang rapat masalah dana dan tempat. Kau tahulah kan masalah dana anak-anak
maru kemana?” Surti berusaha mendinginkan suasana yang mulai memanas.
“Sekarang
begini saja, Jo. Kita handle
adik-adik yang ada diruangan untuk sabar dan tenang. Mudah-mudahan cepat
selesai.” Santo pun mengajak Paijo untuk keruangan anak-anak maru yang bersebrangan
dengan ruangan rapat.
Dengan
suasana yang semakin memanas, Santo dan Paijo mendatangi ruangan yang penuh
dengan maru. Anak-anak Junior yang berada diruangan itu sekitar 50 orang.
Disaat Santo baru melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam ruangan, tiba-tiba
salah satu anak-anak itu berteriak kesal.
“Lama
sekali sih! Kemana seniornya? Tidak bertanggung jawab.” Dengan lantang
kata-kata kekesalan keluar dari salah satu anak-anak junior yang menunggu
berjam-jam.
Paijo
kaget dan tersentak diam mendengar ucapan itu keluar dari mahasiswa itu. Santo
yang berada didepannya langsung memutar arah badannya, karena mendengar
kata-kata yang terlontar dari anak-anak Junior itu.
Paijo
pun langsung tersenyum melihat Santo putar arah dan tidak jadi masuk kedalam ruangan
yang dipenuhi oleh anak-anak Junior tersebut.
“Kenapa
tidak jadi masuk, San?” pertanyaan yang dilontarkan oleh Paijo yang sedang
tersenyum.
“Aku
lupa mengambil absen adik-adik Junior.” Alasan yang tepat untuk menghindar dari
maru.
Paijo
hanya tersenyum saja mendengar alasan dari Santo. Paijo tahu kalau Santo
menghindar dari anak-anak junior itu. Karena Dia takut kena semprot sama anak-anak
junior itu.
“Bagaimana
keputusannya? Dimana tempatnya?” Surti pun bertanya dengan nada kesal.
“Tempatnya
sudah pas. Tapi sekarang dananya kita harus meminta lagi dengan anak-anak, baik
junior ataupun senior. Bagaimana, setuju?” Ijal pun menjelaskan pada Surti.
Surti
yang dipercaya oleh Senior pelaksana merasa keberatan dengan keputusan mereka.
Meskipun, mereka menjelaskan sampai sedemikian rupa dan membujuk Surti agar
dapat membantu kelancaran dalam pelaksanaan acara tersebut.
Akhirnya,
Surti pun mau menerima bujukan rayuan mereka. Meski, hati Surti merasa berat
menerima keputusan dari mereka. Tetapi, Surti tidak mau dengan mudah menerima
hal itu. Surti memberi syarat kepada mereka, bahwa dia hanya membantu bukan
untuk bertanggung jawab atas keseluruhannya. Akhirnya mereka pun menerima
persyaratan yang diusulkan oleh Surti.
Surti
pun meninggalkan ruangan rapat, dia langsung memasuki ruangan dimana anak-anak
Junior tersebut menunggu kepastian yang tidak kunjung tiba.
“Capek?”
kata-kata merayu pada Junior diruangan tersebut.
“Capek,
Kak. Lama sekali Kak?” lontaran kata-kata pun serentak keluar dari bibir anak-anak
Junior itu.
Waktu
pun telah menunjukkan pukul 4 sore. Surti pun bergegas menyampaikan hasil rapat
yang baru terselesaikan.
“Pasti
sudah tidak sabaran semua kan?” Surti masih merayu para junior sambil
senyum-senyum.
“Ia
Kak. Sudah tidak sabar lagi. Kapan kita berangkatnya kak? Bejamur kami semua
menunggu.” Salah satu Junior pun mulai menggoda Surti.
“Kalau
kakak menjelaskan, kalian diam semua ia? Setuju.” Surti mulai serius dengan
ucapannya.
Tanpa
panjang lebar lagi, Surti menjelaskan semua dan menceritakan apa hasil dari
rapat dadakan tersebut. Surti pun dengan berat hati mengatakan untuk meminta
uang lagi. Meskipun terasa berat untuk diucapkan, Surti harus terpaksa
mengatakannya. Belum selesai mengatakan masalah dana, mahasiswa yang menunggu
sudah tahu maksud dan tujuannya.
“Kak,
duit kemarin mana?” salah satu mahasiswa laki-laki bertanya dengan wajah
kecewa.
“Baik,
kakak jelaskan. Begini semuanya, sebelumnya kakak mewakili Senior pelaksana
meminta maaf, karena uang kalian yang kemarin untuk acara hari ini hilang dan
lenyap. Uang tersebut sebenarnya kakak tidak tahu buat apa. Tapi yang pastinya,
uang tersebut telah terpakai oleh WPTB (Wajah Pengemis Tidak Berdosa).” Dengan
berat hati dan rasa malu Surti harus mengatakannya, karena dia tidak ingin
mahasiswa baru tersebut bertanya-tanya lagi.
Wajah
anak-anak junior itu pun beraneka ragam ada yang kesal, kecewa, sakit hati, dan bermacam-macam bentuknya. Dengan
wajah mereka yang tidak tahu lagi bentuknya dengan rela hati mengeluarkan uang
sebanyak Rp. 25 juta.
Setelah
uang terkumpul, anak-anak Junior pun dikondisikan oleh Senior keamanan. Surti
pun langsung keluar dari ruangan tempat menunggu kepastian, dan langsung
memasuki ruangan rapat dadakan acara.
Dengan
wajah yang tidak jauh beda dengan anak-anak yang lain, Surti menyerahkan uang
itu ke ketua rapat acara.
“Ini
uangnya, tugasku sudah selesai. Kalian jangan lagi melibatkan aku dalam masalah
ini, aku sudah lelah mengangkat beban ini.” Surti mulai memanas.
“Maaf
sudah buat kamu kecewa dan kesal, Ti. Kamu tahukan bagaimana masalah aku? Sama
siapa lagi aku meminta bantuan, kalau bukan sama kamu Ti.” Paiman selaku ketua
melihatkan wajah melasnya saat berkata.
Surti
pun merasa kasihan terhadap ketua yang harus menanggung semua akibat dari
perbuatan anggota WPTB. Perbincangan pun
terus berlanjut, semua aspirasi telah dikerahkan. Berbagai pendapat pun
telah terlontarkan. Akhirnya, tibalah saat yang telah dinanti- nantikan oleh
semua anak-anak yang berada diruangan tunggu.
Tempat
pun telah ditentukan, Surti pun masih dilibatkan dalam acara tersebut. Santo
dan Paijo mengerahkan seluruh anak-anak Junior untuk berangkat kelokasi dengan
menggunakan kendaraan yang telah disediakan.
Matahari
yang telah terbenam, tepatnya lagi adzan maghrib telah berkumandang, anak-anak Junior
baru sebagian yang meluncur ke lokasi yang telah ditentukan. Setelah seluruh
anak-anak Junior sampai di lokasi, bukannya mereka istirahat, melainkan masih
menunggu ketua pelaksana acara yang masih dalam perjalanan menuju lokasi acara.
Waktu
terus beralu, malam yang dingin menjadi panas dengan suasana yang belum redam.
Lima belas menit kemudian ketua pelaksana acara pun tiba di lokasi acara. Malam
yang telah dinantikan oleh seluruh anak-anak junior pun tiba juga. Malam yang
penuh dengan pengorbanan, bertepat di malam minggu dan berlokasi di taman
gajah, datang juga didepan mata.
Malam
yang penuh pengorbanan tersebut, merupakan malam berakhirnya letih, lelah, dan
penat selama menjalankan kepahitan menginjak kampus untuk pertama kalinya.
Malam yang waktunya untuk bersenang-senang dan malam untuk mengakrabkan antara
junior dan senior. Malam tersebut selalu disebut-sebut dengan malam Inagurasi ataupun malam keakraban.
Cerpen ini dipublikasikan atas izin penulis.
0 komentar:
Posting Komentar