Pages

Ads 468x60px

Sample Text

Selamat Datang di Cafebahasa dan Prosa-Bambang Setiawan-Blog Informasi Prosa-Jangan lupa isikan Komentar Anda demi perbaikan ke depan-Kirim artikel Anda untuk diposting-bbg_cla@yahoo.com

Kamis, 13 September 2012

Cerpen " Sarapan Ramadhan"


Sarapan Ramadhan
Oleh Eka Sutrisni (E.S Aquarius)

Sore yang begitu panas, mentari menyembunyikan diri, seakan-akan tidak mau melihat bumi lagi. Terasa haus dan lapar menyiksa tubuh seorang wanita muda yang lagi dalam perjalanan. Disaat Kara berada di dalam perjalanan pulang dari latihan teater, dia berpikir yang aneh-aneh tentang hidupnya. Meskipun dia berpikir yang aneh-aneh selama di perjalanan, dia masih tetap fokus dengan jalan yang dilaluinya.
Perjalanan yang ditempuh Rara lumayan jauh dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Waktu tiga puluh menit yang ditempuhnya lumayan membuat dia kelelahan mengendarai motornya. Selama di perjalanan, dia melihat disekitarnya. Kiri dan kanan jalan yang dia lihat semuanya tampak gersang. Hanya mobil dan motor yang lalu-lalang. Rumah dan gedung-gedung mewah yang berjejer membuat dia merasakan kerasnya kehidupan dibumi.

Sesampainya dirumah, Rara memasukkan motor yang dikendarainya ke dalam rumah. Rara pun menyediakan semua makanan yang telah dimasak oleh Ibunya. Setelah makanan tersedia semua di meja makan dan tersusun secara rapi. Rara pun membuatkan sirup yang segar untuk dinikmati pada saat berbuka puasa. Sirup yang berwarna hijau muda kelihatan menggiurkan bagi tenggorokan yang kering.
Waktu buka puasa pun tiba, bedug adzan maghrib pun bersenandung dengan indahnya. Mendengar suara merdunya adzan membuat bulu roma semua berdiri. Rara dan keluarga pun semuanya duduk dikursi dan didepannya tersedia meja yang telah terisi oleh makanan dan minuman yang begitu nikmat.
Raffi adik dari Rara memimpin doa berbuka puasa “Allahuma lakasumtu wabika amantu wa ala rizqiqo aftortu birahmatika ya arhaman rohimin.”
Setelah doa berbuka dibacakan, Rara sekeluarga pun meneguk secangkir air putih dingin yang menyegarkan. Dan menikmati sirup dingin yang menyejukkan tenggorokkan.
“Alhamdulillah, segar dan nikmatnya.” Ucapan syukur yang terlontar dari bibir Bapak Rara.
Brrrr. Segerrr.” Raffi adik Rara pun menikmati dan merasakan kesegaran yang telah di nantinya.
Meskipun di meja makan tidak tersedia kue, semuanya terasa nikmat setelah mereka meneguk air putih dingin dan sirup dingin yang menyejukkan dan menyegarkan tenggorokkan.
“Waktunya makan.” Raffi yang kelaparan mengambil nasi begitu banyak dan meletakkan dipiring yang telah tersedia dihadapannya.
Nampak nian kelaparan, berapa hari tak dikasih makan?” Rara menyentong nasi sambil menyindir adiknya  yang rakus dengan nasi dan lauk yang tersedia di meja makan, seolah-olah dia takut tidak kebagian dengan nasi dan lauk tersebut.
Biarin, yang penting kenyang.” Sambil mengunyah dan menikmati makan Raffi tidak perduli dengan ucapan kakaknya.
“Pelan-pelan makannya, nanti tersedak.” Sang Bapak pun mengingatkan Raffi.
“Tenang, Pak! Nggak bakal tersedak kok.” Raffi yang tak perduli dengan ucapan Bapaknya, dia terus saja melahap makanan yang ada dipiringnya.
Tiba-tiba tidak lama Raffi berkata, tidak bakal tersedak, terdengarlah suara orang yang sedang batuk-batuk.
Uhuk. Uhuk. Uhuk.” Suara tersebut terdengar dari arah Raffi, dan ternyata dia tersedak, Raffi pun langsung meneguk segelas sirup dingin yang ada dihadapannya, bahkan sirup Rara kakaknya juga di sikat dengannya.
Mampus, mangkonyo jangan angah-angah. Jadi orang sok belagu sih! Dibilangi jangan buru-buru, pelan-pelan be. Tapi, dak mau dengeri. Akhirnyo tersedakkan? Dibilangi ngeyel sih! Hahaha.” Rara pun tertawa terbahak-bahak, karena senang melihat adiknya menderita.
“Sudah-sudah, jangan berisik! Nanti kedengaran sama tetangga, disangka apa lagi sama mereka.” Si Ibu pun memberitahu mereka untuk tenang dan tidak berisik.
Anak-anak pun diam tanpa kata. Tak ada satu kata ataupun suara yang keluar dari bibir mereka. Suasana terasa hening. Malam yang dingin disaat berbuka puasa tiada terasa. Dan tiba-tiba Iky adik terakhir yang masih berusia sebelas bulan, merangkak kearah meja makan. Bahkan, tangannya yang mungil bisa menggapai makanan yang terletak di meja makan.
“Iky.” Teriak Rara kesal.
Kemudian, sang Bapak melotot dan berkata “Ibu kau tu puaso jugo, kau nak marah-marah pulo”.
Rara pun terkejut dengan ucapan itu dan dia pun membantah “Siapo yang marah-marah samo Ibu, aku kan marahi Iky. Jangan nak cari balak lah.”
Kau nih nglawan pulo! Kalau dibilangi cari balak, cari balak.” Sang Bapak mengamuk.
Rara pun berpikir dan hatinya menangis. Nafasnya terasa sesak dan hatinya sakit serasa diiris oleh pisau belati yang begitu tajam. Kara yang sedang menikmati makannya, tiba-tiba hilang selera makannya begitu saja. Rara pun menghentikan makannya.
Habisi nasinyo!” Ibu berkata dengan nada kesal.
Rara hanya terdiam dan menahan rasa sakit hatinya. Dia berusaha untuk menahan air matanya jatuh, tapi dia tak bisa membendungnya. Tiba-tiba air matanya jatuh dan matanya pun berlinang dengan air mata.
“Jadi anak dak tau diri. Dibilangi nglawan. Dikasih tau nangis. Merajuk.” Bapak pun memarahi Rara.
Rara tidak tahu lagi harus berbuat apa. Semua hidup yang dijalaninya sia-sia. Masalah yang menghampirinya tidak pernah terselesaikan. Perjalanan hidupnya pun tidak pernah berjalan dengan mulus dan bahagia. Wanita muda yang harus menerima kenyataaan dan kekejaman kehidupan didalam keluarga.
Rara pun mencuci tangannya dan membiarkan nasi dipiringnya tidak habis. Dan dia langsung masuk kekamarnya, meratapi kehidupannya dan kepahitan yang dia rasakan. Rara menderita dengan hidupnya. Matanya pun tanpa disadari mengeluarkan air yang membasahi pipinya.
Dasar anak dak tau diri. Orangtuo capek banting tulang, cari duit untuk dio. Tapi anak dak tau di untung. Terserah. Kalau mau makan situ, idak situ. Nak pegi dari rumah, pegilah.” Terdengar ucapan Bapak berbisik-bisik dari kamar Kara.
Rara yang berada dikamar hanya mendengarkan saja dan menangis tanpa suara. Matanya yang sudah membengkak masih mengeluarkan air dan membasahi pipinya. Pikiran Rara pun melayang entah kemana. Sampai-sampai dia berpikir ingin akhiri hidupnya di dunia. Rara tidak sanggup dengan keadaan yang ada di kehidupan keluarga yang selalu tak pernah damai.
“Ya Allah, cobaan apalagi yang kau berikan. Sudah cukup aku menderita seperti ini. Dulu kau ambil orang yang mengerti diriku, sehingga dia menikah dengan orang lain. Kini siapa yang akan membela dan mengerti akan diriku. Aku sudah lelah seperti ini, aku tak sanggup lagi menahan semua penderitaan batin ini.” Rara menangis dan berdoa pada Allah. Rara pun meminta dan memohon pada Allah untuk diberikan jalan dan kemudahan dalam menghadapi hidup.
            Mata Rara yang sudah bengkak dengan air mata yang jatuh, membuat matanya lelah dan dia pun tertidur. Didalam tidurnya Rara bermimpi merasakan damai dan ketenangan serta kebahagiaan dalam suatu kehidupan dalam keluarga. Senyumannya selalu hiasi wajahnya. Rara menikmati mimpi indahnya dan dia pun berdoa dalam mimpinya semoga abadi selalu kebahagiaan dalam keluarga.
            “Bangun. Sahur.” Suara seorang wanita membanguni sahur sehingga Rara terkejut dan bangun dari tidurnya.
Setelah Rara tahu bahwa itu semua hanya mimpi. Rara pun merenung, dan meneteskan air mata yang berlinang di matanya. Dan dia pun berkata dengan terbata-bata “Ya Allah. Mengapa ini semuanya hanya mimpi? Mengapa ya Allah?”
Rara yang bangun dari tidurnya, tidak ingin keluar dari kamar. Karena dia takut kejadian di waktu berbuka puasa, terjadi lagi disaat sahur. “Percuma aku puasa, shalat dan membaca Al-Qur’an. Tapi aku harus perang mulut dengan orangtuaku sendiri.” Rara pun telah diracuni pikiran kotor.
“Bangun. Sahur.” Kedua kalinya seorang wanita memanggil untuk sahur.
Rara pun dengan terpaksa, dia turun dari tempat tidurnya dan langsung masuk kekamar mandi untuk membasuh wajahnya yang penuh dengan air mata. Setelah selesai makan sahur, Rara langsung masuk ke kamarnya lagi.
***
Pagi hari yang habis diguyur hujan, Rara masih merebahkan badannya diatas tempat tidur. Dia pun menikmati dinginnya pagi yang menusuk ke dalam tulang. Ketika Rara sedang asyik menikmati dinginnya pagi, tiba-tiba terdengar.
Punyo anak gadis dak pernah bangun subuh.” Ujar sang Bapak yang sedang menggendong seorang bayi.
Sesosok Ayah yang ganas, cerewet melebihi wanita dan selalu mencari kesalahan terhadap anaknya. Padahal dia tidak tahu betapa tersiksanya batin anak-anaknya. Sesosok ayah itu bernama Zuhdi, dia memiliki seorang istri yang bernama Priati. Suami istri itu, memiliki tiga orang anak. Anak-anak mereka yang pertama perempuan, anak yang kedua dan ketiga laki-laki. Anak pertama bernama Rara Triani, anak kedua bernama Raffi, dan anak yang bungsu nomor tiga bernama Ramanda.
Mentang-mentang hari hujan, bangun nak siang jugo. Macam mano kalau punyo laki besok? Bangun bae siang terus.” Kata-kata yang menyakitkan terucap lagi dari bibir sang Ayah.
Ketika Rara hendak bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamar, terdengarlah ujaran yang membuat Rara merasa sakit hati. Padahal Rara bangun dari tidurnya pada pukul 05.45 wib.
Menurut Rara jam segitu masih pagi, tetapi menurut Ayahnya itu sudah siang. Rara pun langsung bergegas membersihkan dan membereskan rumahnya. Seperti biasa, setiap bangun tidur Rara tidak langsung mencuci muka melainkan langsung beres-beres rumah dan mengambil sapu untuk mebersihkan ruangan.
Sebelum Rara beres-beres rumah, dia merendam pakaian yang akan dicuci.  Menjelang semua kotoran di pakaian terangkat, Rara beres-beres dan membersihkan ruangan didalam rumah.
Awak betino, tapi bangun siang terus. Kalau kau lah belaki, dak malu samo laki kau? Apolagi kalau kau tinggal samo mertuo. Lokak keno marah bae kau pagi-pagi.” Ujar Sang Bapak yang judes dengan kata-kata yang menyakitkan sambil menikmati kopi susu hangat.
Rara yang sedang asyik beres-beres dan membersihkan ruangan, terkejut mendengar ujaran itu. Rara pun tercengang mendengar ujaran pahit itu. Dia hanya bisa terdiam dan menahan sesak didada,  matanya pun berkaca-kaca. Dia menahan air mata dan rasa sakit di hatinya dengan ujaran itu.
“Sudahlah, Pak! Kan dio jugo bangun dak sampe jam 9.” Sahut sang Ibu membela anaknya.
Iyo sich! Tapi kan dio tuh betino, aturan bangun jam 4 subuh. Jadi, betino malas nean. Kalau dak di banguni dak bangun-bangun.” Tandas sang Bapak dengan suara lantang dan ketus.
Rara hanya bisa diam, dan dia tidak tahu harus berbuat apa. Tak ada senyuman yang menghiasi wajah Rara yang manis dan selalu ceria di depan orang-orang. Rara yang tidak sombong dan ramah itu harus menerima kepahitan hidup yang setiap hari dan sepanjang hidupnya. Seolah-olah Rara bukan anak kandung dari Pak Zuhdi dan Bu Priati.
“Sebenarnya aku ini siapa? Apakah aku bukan anak kandung mereka?” pertanyaan yang timbul dari hati Rara sambil menyapu ruangan kamar.
Tengok tuh anak kau! Kalau dibilangi muncungnyo panjang. Ngambek.” Tandas Pak Yudi ketus.
Rara hanya menahan rasa kecewa dan sakit hati kepada Bapaknya. Padahal Rara tidak pernah seperti apa yang dikatakan Bapaknya. Rara hanya diam tanpa kata, karena tidak mau ribut dengan Bapaknya. Apalagi umur Rara yang sudah beranjak 22 tahun. Dia harus bersikap dewasa dan sabar.
Ado apo sih? Ribut nian, kayak di pasar angso bae.” Sahut Raffi adik Rara yang baru bangun dari tidurnya.
Ini sikok lagi, jantan dak tau diri. Sudahlah bangun siang, dak pernah bantu orangtuo, sibuk pulo.” Tandas sang Bapak kesal.
Raffi pun langsung terdiam dan wajahnya memucat. Raffi anak kedua dari Pak Zuhdi dan Bu Priati adalah seorang anak yang pemalas, tidak pernah membantu orangtuanya. Semenjak TK sampai dia tamat SMA, dia selalu dimanja. Kerjaannya hanya ngluyur saja. Orangnya keras kepala, tidak mau diperintah orangtua ataupun kakaknya. Tetapi, kalau disuruh sama orang dia sangat cepat sekali.
Rara selalu memaklumi sifat dan sikap adiknya yang tidak pernah menolong keluarganya sendiri. Karena selalu dimanja Raffi menjadi anak yang suka ngelawan sama orangtua. Apalagi dia tahu dengan sifat Bapaknya yang kejam dan cerewet itu.
Hmm, dasar burung beo.” Ujar Raffi dengan suara pelan.
Setelah Rara selesai beres-beres dan menyapu ruangan di dalam rumah. Rara pun langsung menuju kamar mandi dan menyuci pakaian yang sudah direndamnya tadi sebelum beres-beres rumah dan menyapu ruangan.
***

Pagi hari yang dingin dan diguyur hujan lagi ditambah dengan padamnya lampu. Membuat Rara malas untuk turun dari tempat tidur. Rara pun menarik selimutnya yang tebal. Pagi itu masih pukul 4 subuh, tetapi Rara tidak bisa memejamkan matanya karena dia ingat kata-kata sang Ayah yang menyakitkan hatinya.
Rara pun langsung bangkit dari tempat tidur dan seperti biasa dia sebelum beres-beres dan bersih-bersih ruangan didalam rumah. Rara merendam pakaiannya.
Disaat Rara sedang mengambil pakaian yang akan direndam dan dicuci, terdengarlah kata-kata yang melukai hatinya.
Berisik nian, ganggu orang tiduk be.” Ujar sang Ayah marah-marah yang masih berada dikamar tidur.
Rara langsung terdiam dan duduk dilantai. “Ya, Allah. Kok selalu salah sih dimata Bapak. Bangun siang kena marah. Bangun subuh dibilang ganggu orang tidur. Apa sih maunya Bapak, ya Allah?” rintihan Rara dalam hati sehingga meneteskan air mata yang sudah tidak tertahan lagi.
Rara menghapus air matanya dan melanjutkan pekerjaannya lagi. Dia tidak perduli dengan apa yang diucapkan Bapaknya.
Waktu yang telah menunjukkan pukul 05.35 wib, Pak Zuhdi pun bangun dari tidurnya. Bu Priati pun menyusul. Sang Ibu langsung menghidupkan api kompor, setelah api kompor rata Ibu langsung mengambil ceret dan mengisinya dengan air bersih. Disaat Ibu sedang mengangkat ceret dan menaruhnya diatas api kompor, tiba-tiba terdengar kata-kata yang tidak mengenakkan.
Percuma bae bangun pagi, tapi dak tek masak aek. Aturan masak aek dulu untuk buat kopi Bapaknyo. Ini idak. Sudahlah berisik banguni orang. Malah dak masak aek.” Ujar Pak Zuhdi marah-marah.
Rara yang sedang menyapu  ruang tamu, terdengar kata-kata yang menyakitkan hati dengan sangat jelas. Rara hanya bisa meneteskan air mata, dan dia pun memperlambat menyapu ruang tamu.
“Bangun siang, dimarahi. Bangun subuh dapat sarapan ocehan pahit. Sebenarnya mau dio tu apo?” gumam Rara yang meneteskan air matanya.
Apa yang dilakukan oleh Rara semuanya salah, tidak ada yang benar dimata Bapaknya. Padahal dia sudah berusaha mencari perhatian Bapaknya dengan melakukan segala cara, tapi semuanya sia-sia.
Rara yang saat ini sedang libur kuliah, merasa tidak betah dirumah. Pikiran jahat selalu keluar dari otaknya. Dia merasa tidak sanggup menahan semua penderitaan didalam hidupnya.
***
Siang hari yang panas, dia mendapat SMS dari teman sejawatnya. Disaat dia membuka dan membacanya, ternyata isi SMS tersebut berisikan nilai-nilai selama dia mengikuti ujian semester. Rara pun terkejut melihat isi SMS tersebut.
Astaghfirullah, ini tidak mungkin.” Tandas Rara terkejut.
Rara pun sedih melihat isi SMS itu. ternyata isi SMS tersebut adalah nilai-nilai Rara yang jelek, semua nilainya tidak ada yang memuaskan. Dia pun tidak dapat mempertahankan nilai-nilai bagusnya di semester lalu. Rara hanya termenung dan meratapi semua masalah yang dihadapinya.
Rara sudah berusaha belajar untuk menggapai nilai yang memuaskan, tapi ternyata semuanya sia-sia. Nilainya tetap saja jelek. Rara sudah bertekad dia akan berusaha memperjuangkan nilainya. Meskipun, dirumah dia harus mendapatkan sarapan yang menyakitkan hatinya.
Kehidupan memang pahit dan selalu mempunyai masalah. Itu semua ujian serta cobaan yang diberikan oleh Allah. Semua itu, diberikan untuk seluruh umat manusia. Apakah mereka mampu menyelesaikannya atau tidak.
Terkadang kehidupan membuat orang bahagia, tetapi mereka hadapi masalah dengan tawakal dan sabar.
Hidup?
Sebenarnya hidup itu menyenangkan bila dijalani dan dinikmati. Semua masalah bisa terselesaikan apabila kita selesaikan dan tanpa ada kata menyerah. Ya, meskipun masalah membuat orang lupa diri. Mereka yang tidak dapat menyelesaikannya terkadang bisa bunuh diri, gila atau  apa pun itu namanya.
Jalanilah hidup dengan penuh ketenangan, kesabaran, dan bertawakal. Berdoalah dan meminta untuk memudahkan jalan untuk menyelesaikan masalah kepada Allah.
Itulah yang selalu dilakukan oleh Rara, dia  selalu berdoa dan memohon pertolongan untuk memudahkan menyelesaikan masalah dan menambah kesabaran pada dirinya. Meskipun dengan sikap Bapaknya yang kejam, dia selalu berdoa agar sang Bapak diberi kesehatan dan kesabaran serta rezeki yang dapat menghidupi anak dan istrinya.

 Puisi ini dimuat atas seizin penulis (Eka Sutrisni)










0 komentar:

Posting Komentar

 
3

Sample text

Sample Text