Sarapan Ramadhan
Oleh
Eka Sutrisni (E.S Aquarius)
Sore
yang begitu panas, mentari menyembunyikan diri, seakan-akan tidak mau melihat
bumi lagi. Terasa haus dan lapar menyiksa tubuh seorang wanita muda yang lagi
dalam perjalanan. Disaat Kara berada di dalam perjalanan pulang dari latihan
teater, dia berpikir yang aneh-aneh tentang hidupnya. Meskipun dia berpikir
yang aneh-aneh selama di perjalanan, dia masih tetap fokus dengan jalan yang
dilaluinya.
Perjalanan
yang ditempuh Rara lumayan jauh dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Waktu
tiga puluh menit yang ditempuhnya lumayan membuat dia kelelahan mengendarai
motornya. Selama di perjalanan, dia melihat disekitarnya. Kiri dan kanan jalan
yang dia lihat semuanya tampak gersang. Hanya mobil dan motor yang lalu-lalang.
Rumah dan gedung-gedung mewah yang berjejer membuat dia merasakan kerasnya
kehidupan dibumi.
Sesampainya
dirumah, Rara memasukkan motor yang dikendarainya ke dalam rumah. Rara pun
menyediakan semua makanan yang telah dimasak oleh Ibunya. Setelah makanan
tersedia semua di meja makan dan tersusun secara rapi. Rara pun membuatkan
sirup yang segar untuk dinikmati pada saat berbuka puasa. Sirup yang berwarna
hijau muda kelihatan menggiurkan bagi tenggorokan yang kering.
Waktu
buka puasa pun tiba, bedug adzan maghrib pun bersenandung dengan indahnya.
Mendengar suara merdunya adzan membuat bulu roma semua berdiri. Rara dan
keluarga pun semuanya duduk dikursi dan didepannya tersedia meja yang telah terisi
oleh makanan dan minuman yang begitu nikmat.
Raffi
adik dari Rara memimpin doa berbuka puasa “Allahuma lakasumtu wabika amantu wa
ala rizqiqo aftortu birahmatika ya arhaman rohimin.”
Setelah
doa berbuka dibacakan, Rara sekeluarga pun meneguk secangkir air putih dingin
yang menyegarkan. Dan menikmati sirup dingin yang menyejukkan tenggorokkan.
“Alhamdulillah,
segar dan nikmatnya.” Ucapan syukur yang terlontar dari bibir Bapak Rara.
“Brrrr. Segerrr.” Raffi adik Rara pun
menikmati dan merasakan kesegaran yang telah di nantinya.
Meskipun
di meja makan tidak tersedia kue, semuanya terasa nikmat setelah mereka meneguk
air putih dingin dan sirup dingin yang menyejukkan dan menyegarkan
tenggorokkan.
“Waktunya
makan.” Raffi yang kelaparan mengambil nasi begitu banyak dan meletakkan
dipiring yang telah tersedia dihadapannya.
“Nampak nian kelaparan, berapa hari tak
dikasih makan?” Rara menyentong nasi sambil menyindir adiknya yang rakus dengan nasi dan lauk yang tersedia
di meja makan, seolah-olah dia takut tidak kebagian dengan nasi dan lauk
tersebut.
“Biarin, yang penting kenyang.” Sambil
mengunyah dan menikmati makan Raffi tidak perduli dengan ucapan kakaknya.
“Pelan-pelan
makannya, nanti tersedak.” Sang Bapak pun mengingatkan Raffi.
“Tenang,
Pak! Nggak bakal tersedak kok.” Raffi
yang tak perduli dengan ucapan Bapaknya, dia terus saja melahap makanan yang
ada dipiringnya.
Tiba-tiba
tidak lama Raffi berkata, tidak bakal tersedak, terdengarlah suara orang yang
sedang batuk-batuk.
“Uhuk. Uhuk. Uhuk.” Suara tersebut
terdengar dari arah Raffi, dan ternyata dia tersedak, Raffi pun langsung
meneguk segelas sirup dingin yang ada dihadapannya, bahkan sirup Rara kakaknya
juga di sikat dengannya.
“Mampus, mangkonyo jangan angah-angah. Jadi
orang sok belagu sih! Dibilangi jangan buru-buru, pelan-pelan be. Tapi, dak mau
dengeri. Akhirnyo tersedakkan? Dibilangi ngeyel sih! Hahaha.” Rara pun
tertawa terbahak-bahak, karena senang melihat adiknya menderita.
“Sudah-sudah,
jangan berisik! Nanti kedengaran sama tetangga, disangka apa lagi sama mereka.”
Si Ibu pun memberitahu mereka untuk tenang dan tidak berisik.
Anak-anak
pun diam tanpa kata. Tak ada satu kata ataupun suara yang keluar dari bibir
mereka. Suasana terasa hening. Malam yang dingin disaat berbuka puasa tiada
terasa. Dan tiba-tiba Iky adik terakhir yang masih berusia sebelas bulan,
merangkak kearah meja makan. Bahkan, tangannya yang mungil bisa menggapai
makanan yang terletak di meja makan.
“Iky.”
Teriak Rara kesal.
Kemudian,
sang Bapak melotot dan berkata “Ibu kau
tu puaso jugo, kau nak marah-marah pulo”.
Rara
pun terkejut dengan ucapan itu dan dia pun membantah “Siapo yang marah-marah samo
Ibu, aku kan marahi Iky. Jangan nak cari
balak lah.”
“Kau nih nglawan pulo! Kalau dibilangi cari
balak, cari balak.” Sang Bapak mengamuk.
Rara
pun berpikir dan hatinya menangis. Nafasnya terasa sesak dan hatinya sakit
serasa diiris oleh pisau belati yang begitu tajam. Kara yang sedang menikmati
makannya, tiba-tiba hilang selera makannya begitu saja. Rara pun menghentikan
makannya.
“Habisi nasinyo!” Ibu berkata dengan nada
kesal.
Rara
hanya terdiam dan menahan rasa sakit hatinya. Dia berusaha untuk menahan air
matanya jatuh, tapi dia tak bisa membendungnya. Tiba-tiba air matanya jatuh dan
matanya pun berlinang dengan air mata.
“Jadi
anak dak tau diri. Dibilangi nglawan.
Dikasih tau nangis. Merajuk.”
Bapak pun memarahi Rara.
Rara
tidak tahu lagi harus berbuat apa. Semua hidup yang dijalaninya sia-sia.
Masalah yang menghampirinya tidak pernah terselesaikan. Perjalanan hidupnya pun
tidak pernah berjalan dengan mulus dan bahagia. Wanita muda yang harus menerima
kenyataaan dan kekejaman kehidupan didalam keluarga.
Rara
pun mencuci tangannya dan membiarkan nasi dipiringnya tidak habis. Dan dia
langsung masuk kekamarnya, meratapi kehidupannya dan kepahitan yang dia
rasakan. Rara menderita dengan hidupnya. Matanya pun tanpa disadari
mengeluarkan air yang membasahi pipinya.
“Dasar anak dak tau diri. Orangtuo capek
banting tulang, cari duit untuk dio. Tapi anak dak tau di untung. Terserah.
Kalau mau makan situ, idak situ. Nak pegi dari rumah, pegilah.” Terdengar
ucapan Bapak berbisik-bisik dari kamar Kara.
Rara
yang berada dikamar hanya mendengarkan saja dan menangis tanpa suara. Matanya
yang sudah membengkak masih mengeluarkan air dan membasahi pipinya. Pikiran Rara
pun melayang entah kemana. Sampai-sampai dia berpikir ingin akhiri hidupnya di
dunia. Rara tidak sanggup dengan keadaan yang ada di kehidupan keluarga yang
selalu tak pernah damai.
“Ya
Allah, cobaan apalagi yang kau berikan. Sudah cukup aku menderita seperti ini.
Dulu kau ambil orang yang mengerti diriku, sehingga dia menikah dengan orang
lain. Kini siapa yang akan membela dan mengerti akan diriku. Aku sudah lelah
seperti ini, aku tak sanggup lagi menahan semua penderitaan batin ini.” Rara
menangis dan berdoa pada Allah. Rara pun meminta dan memohon pada Allah untuk
diberikan jalan dan kemudahan dalam menghadapi hidup.
Mata Rara yang sudah bengkak dengan
air mata yang jatuh, membuat matanya lelah dan dia pun tertidur. Didalam
tidurnya Rara bermimpi merasakan damai dan ketenangan serta kebahagiaan dalam
suatu kehidupan dalam keluarga. Senyumannya selalu hiasi wajahnya. Rara
menikmati mimpi indahnya dan dia pun berdoa dalam mimpinya semoga abadi selalu
kebahagiaan dalam keluarga.
“Bangun. Sahur.” Suara seorang
wanita membanguni sahur sehingga Rara terkejut dan bangun dari tidurnya.
Setelah
Rara tahu bahwa itu semua hanya mimpi. Rara pun merenung, dan meneteskan air
mata yang berlinang di matanya. Dan dia pun berkata dengan terbata-bata “Ya Allah. Mengapa ini semuanya hanya mimpi?
Mengapa ya Allah?”
Rara
yang bangun dari tidurnya, tidak ingin keluar dari kamar. Karena dia takut
kejadian di waktu berbuka puasa, terjadi lagi disaat sahur. “Percuma aku puasa,
shalat dan membaca Al-Qur’an. Tapi aku harus perang mulut dengan orangtuaku
sendiri.” Rara pun telah diracuni pikiran kotor.
“Bangun.
Sahur.” Kedua kalinya seorang wanita memanggil untuk sahur.
Rara
pun dengan terpaksa, dia turun dari tempat tidurnya dan langsung masuk kekamar
mandi untuk membasuh wajahnya yang penuh dengan air mata. Setelah selesai makan
sahur, Rara langsung masuk ke kamarnya lagi.
***
Pagi
hari yang habis diguyur hujan, Rara masih merebahkan badannya diatas tempat
tidur. Dia pun menikmati dinginnya pagi yang menusuk ke dalam tulang. Ketika
Rara sedang asyik menikmati dinginnya pagi, tiba-tiba terdengar.
“Punyo anak gadis dak pernah bangun subuh.”
Ujar sang Bapak yang sedang menggendong seorang bayi.
Sesosok
Ayah yang ganas, cerewet melebihi wanita dan selalu mencari kesalahan terhadap
anaknya. Padahal dia tidak tahu betapa tersiksanya batin anak-anaknya. Sesosok
ayah itu bernama Zuhdi, dia memiliki seorang istri yang bernama Priati. Suami
istri itu, memiliki tiga orang anak. Anak-anak mereka yang pertama perempuan,
anak yang kedua dan ketiga laki-laki. Anak pertama bernama Rara Triani, anak
kedua bernama Raffi, dan anak yang bungsu nomor tiga bernama Ramanda.
“Mentang-mentang hari hujan, bangun nak siang
jugo. Macam mano kalau punyo laki besok? Bangun bae siang terus.” Kata-kata
yang menyakitkan terucap lagi dari bibir sang Ayah.
Ketika
Rara hendak bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamar, terdengarlah
ujaran yang membuat Rara merasa sakit hati. Padahal Rara bangun dari tidurnya
pada pukul 05.45 wib.
Menurut
Rara jam segitu masih pagi, tetapi menurut Ayahnya itu sudah siang. Rara pun
langsung bergegas membersihkan dan membereskan rumahnya. Seperti biasa, setiap
bangun tidur Rara tidak langsung mencuci muka melainkan langsung beres-beres
rumah dan mengambil sapu untuk mebersihkan ruangan.
Sebelum
Rara beres-beres rumah, dia merendam pakaian yang akan dicuci. Menjelang semua kotoran di pakaian terangkat,
Rara beres-beres dan membersihkan ruangan didalam rumah.
“Awak betino, tapi bangun siang terus. Kalau
kau lah belaki, dak malu samo laki kau? Apolagi kalau kau tinggal samo mertuo.
Lokak keno marah bae kau pagi-pagi.” Ujar Sang Bapak yang judes dengan
kata-kata yang menyakitkan sambil menikmati kopi susu hangat.
Rara
yang sedang asyik beres-beres dan membersihkan ruangan, terkejut mendengar
ujaran itu. Rara pun tercengang mendengar ujaran pahit itu. Dia hanya bisa
terdiam dan menahan sesak didada,
matanya pun berkaca-kaca. Dia menahan air mata dan rasa sakit di hatinya
dengan ujaran itu.
“Sudahlah,
Pak! Kan dio jugo bangun dak sampe jam 9.”
Sahut sang Ibu membela anaknya.
“Iyo sich! Tapi kan dio tuh betino, aturan
bangun jam 4 subuh. Jadi, betino malas nean. Kalau dak di banguni dak
bangun-bangun.” Tandas sang Bapak dengan suara lantang dan ketus.
Rara
hanya bisa diam, dan dia tidak tahu harus berbuat apa. Tak ada senyuman yang
menghiasi wajah Rara yang manis dan selalu ceria di depan orang-orang. Rara
yang tidak sombong dan ramah itu harus menerima kepahitan hidup yang setiap hari
dan sepanjang hidupnya. Seolah-olah Rara bukan anak kandung dari Pak Zuhdi dan
Bu Priati.
“Sebenarnya
aku ini siapa? Apakah aku bukan anak kandung mereka?” pertanyaan yang timbul
dari hati Rara sambil menyapu ruangan kamar.
“Tengok tuh anak kau! Kalau dibilangi
muncungnyo panjang. Ngambek.” Tandas Pak Yudi ketus.
Rara
hanya menahan rasa kecewa dan sakit hati kepada Bapaknya. Padahal Rara tidak
pernah seperti apa yang dikatakan Bapaknya. Rara hanya diam tanpa kata, karena
tidak mau ribut dengan Bapaknya. Apalagi umur Rara yang sudah beranjak 22
tahun. Dia harus bersikap dewasa dan sabar.
“Ado apo sih? Ribut nian, kayak di pasar
angso bae.” Sahut Raffi adik Rara yang baru bangun dari tidurnya.
“Ini sikok lagi, jantan dak tau diri.
Sudahlah bangun siang, dak pernah bantu orangtuo, sibuk pulo.” Tandas sang
Bapak kesal.
Raffi
pun langsung terdiam dan wajahnya memucat. Raffi anak kedua dari Pak Zuhdi dan
Bu Priati adalah seorang anak yang pemalas, tidak pernah membantu orangtuanya.
Semenjak TK sampai dia tamat SMA, dia selalu dimanja. Kerjaannya hanya ngluyur
saja. Orangnya keras kepala, tidak mau diperintah orangtua ataupun kakaknya.
Tetapi, kalau disuruh sama orang dia sangat cepat sekali.
Rara
selalu memaklumi sifat dan sikap adiknya yang tidak pernah menolong keluarganya
sendiri. Karena selalu dimanja Raffi menjadi anak yang suka ngelawan sama
orangtua. Apalagi dia tahu dengan sifat Bapaknya yang kejam dan cerewet itu.
“Hmm, dasar burung beo.” Ujar Raffi
dengan suara pelan.
Setelah
Rara selesai beres-beres dan menyapu ruangan di dalam rumah. Rara pun langsung
menuju kamar mandi dan menyuci pakaian yang sudah direndamnya tadi sebelum
beres-beres rumah dan menyapu ruangan.
***
Pagi
hari yang dingin dan diguyur hujan lagi ditambah dengan padamnya lampu. Membuat
Rara malas untuk turun dari tempat tidur. Rara pun menarik selimutnya yang
tebal. Pagi itu masih pukul 4 subuh, tetapi Rara tidak bisa memejamkan matanya
karena dia ingat kata-kata sang Ayah yang menyakitkan hatinya.
Rara
pun langsung bangkit dari tempat tidur dan seperti biasa dia sebelum
beres-beres dan bersih-bersih ruangan didalam rumah. Rara merendam pakaiannya.
Disaat
Rara sedang mengambil pakaian yang akan direndam dan dicuci, terdengarlah
kata-kata yang melukai hatinya.
“Berisik nian, ganggu orang tiduk be.”
Ujar sang Ayah marah-marah yang masih berada dikamar tidur.
Rara
langsung terdiam dan duduk dilantai. “Ya,
Allah. Kok selalu salah sih dimata Bapak. Bangun siang kena marah. Bangun subuh
dibilang ganggu orang tidur. Apa sih maunya Bapak, ya Allah?” rintihan Rara
dalam hati sehingga meneteskan air mata yang sudah tidak tertahan lagi.
Rara
menghapus air matanya dan melanjutkan pekerjaannya lagi. Dia tidak perduli
dengan apa yang diucapkan Bapaknya.
Waktu
yang telah menunjukkan pukul 05.35 wib, Pak Zuhdi pun bangun dari tidurnya. Bu
Priati pun menyusul. Sang Ibu langsung menghidupkan api kompor, setelah api
kompor rata Ibu langsung mengambil ceret dan mengisinya dengan air bersih.
Disaat Ibu sedang mengangkat ceret dan menaruhnya diatas api kompor, tiba-tiba
terdengar kata-kata yang tidak mengenakkan.
“Percuma bae bangun pagi, tapi dak tek masak
aek. Aturan masak aek dulu untuk buat kopi Bapaknyo. Ini idak. Sudahlah berisik
banguni orang. Malah dak masak aek.” Ujar Pak Zuhdi marah-marah.
Rara
yang sedang menyapu ruang tamu,
terdengar kata-kata yang menyakitkan hati dengan sangat jelas. Rara hanya bisa
meneteskan air mata, dan dia pun memperlambat menyapu ruang tamu.
“Bangun
siang, dimarahi. Bangun subuh dapat sarapan ocehan
pahit. Sebenarnya mau dio tu apo?”
gumam Rara yang meneteskan air matanya.
Apa
yang dilakukan oleh Rara semuanya salah, tidak ada yang benar dimata Bapaknya.
Padahal dia sudah berusaha mencari perhatian Bapaknya dengan melakukan segala
cara, tapi semuanya sia-sia.
Rara
yang saat ini sedang libur kuliah, merasa tidak betah dirumah. Pikiran jahat
selalu keluar dari otaknya. Dia merasa tidak sanggup menahan semua penderitaan
didalam hidupnya.
***
Siang
hari yang panas, dia mendapat SMS dari teman sejawatnya. Disaat dia membuka dan
membacanya, ternyata isi SMS tersebut berisikan nilai-nilai selama dia
mengikuti ujian semester. Rara pun terkejut melihat isi SMS tersebut.
“Astaghfirullah, ini tidak mungkin.”
Tandas Rara terkejut.
Rara
pun sedih melihat isi SMS itu. ternyata isi SMS tersebut adalah nilai-nilai
Rara yang jelek, semua nilainya tidak ada yang memuaskan. Dia pun tidak dapat
mempertahankan nilai-nilai bagusnya di semester lalu. Rara hanya termenung dan
meratapi semua masalah yang dihadapinya.
Rara
sudah berusaha belajar untuk menggapai nilai yang memuaskan, tapi ternyata
semuanya sia-sia. Nilainya tetap saja jelek. Rara sudah bertekad dia akan
berusaha memperjuangkan nilainya. Meskipun, dirumah dia harus mendapatkan
sarapan yang menyakitkan hatinya.
Kehidupan
memang pahit dan selalu mempunyai masalah. Itu semua ujian serta cobaan yang
diberikan oleh Allah. Semua itu, diberikan untuk seluruh umat manusia. Apakah
mereka mampu menyelesaikannya atau tidak.
Terkadang
kehidupan membuat orang bahagia, tetapi mereka hadapi masalah dengan tawakal
dan sabar.
Hidup?
Sebenarnya
hidup itu menyenangkan bila dijalani dan dinikmati. Semua masalah bisa
terselesaikan apabila kita selesaikan dan tanpa ada kata menyerah. Ya, meskipun
masalah membuat orang lupa diri. Mereka yang tidak dapat menyelesaikannya
terkadang bisa bunuh diri, gila atau apa
pun itu namanya.
Jalanilah
hidup dengan penuh ketenangan, kesabaran, dan bertawakal. Berdoalah dan meminta
untuk memudahkan jalan untuk menyelesaikan masalah kepada Allah.
Itulah
yang selalu dilakukan oleh Rara, dia
selalu berdoa dan memohon pertolongan untuk memudahkan menyelesaikan
masalah dan menambah kesabaran pada dirinya. Meskipun dengan sikap Bapaknya
yang kejam, dia selalu berdoa agar sang Bapak diberi kesehatan dan kesabaran
serta rezeki yang dapat menghidupi anak dan istrinya.
Puisi ini dimuat atas seizin penulis (Eka Sutrisni)
0 komentar:
Posting Komentar