Oleh: Martogi Tua Sinaga
JUDUL : Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap, PENGARANG: Timbul Nadaek, PENERBIT: KOMPAS 2010 “dodolitdodolitdodolibret”, HAL: 6 Hal, TEBAL BUKU: 212 Hal,
TAHUN 2010
TAHUN 2010
Di Kedai Tuak Martohap selalu ada beberapa orang
lelaki-biasanya 4 sampai 5 orang-yang bercakap-cakap sambil minum tuak. Selalu
ada cerita yang mereka percakapkan. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak.
Karena mereka bercakap-cakap dengan suara tinggi, maka semua tamu di kedai tuak
itu tahu apa yang sedang mereka tertawakan. Tapi ada pula cerita yang mereka
percakapkan dengan suara rendah. Kalau bercakap-cakap seperti itu, mereka pasti
menggeser gelas dan botol tuak masing-masing ke tengah meja agar dapat menyimak
sambil melipat kedua tangan di atas meja.
Dua jam sebelum tengah malam,
biasanya Pita mulai sibuk mengelap sisa-sisa makanan dan tuak yang tertumpah di
atas meja. Membersihkan dan merapikan kursi-kursi merupakan isyarat bahwa dia
sedang bersiap-siap untuk menutup kedai tuaknya. Satu atau dua orang tamu yang
masih berada di kedainya harus bersiap-siap pula untuk pulang.
Tapi pada malam itu, ada seorang lelaki beruban yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan beranjak dari kursinya. Pita tersenyum ramah ketika mengamati sosok lelaki itu. Tak lama kemudian, senyumnya hilang seketika. Dia terkesima. Sekujur tubuhnya sempat bergetar ketika lelaki beruban itu membalas tatapannya. Pita merasa pernah mengenali wajah lelaki itu. Bahkan pernah mengenali tatapannya. Dia ingin segera berlari ke kamarnya untuk membuka album masa mudanya. Dia ingin memastikan bahwa wajah lelaki beruban itu adalah wajah tua milik seorang pemuda yang pernah dikenalnya. Wajah yang sesekali masih mampu menggelorakan rindunya.
Tapi pada malam itu, ada seorang lelaki beruban yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan beranjak dari kursinya. Pita tersenyum ramah ketika mengamati sosok lelaki itu. Tak lama kemudian, senyumnya hilang seketika. Dia terkesima. Sekujur tubuhnya sempat bergetar ketika lelaki beruban itu membalas tatapannya. Pita merasa pernah mengenali wajah lelaki itu. Bahkan pernah mengenali tatapannya. Dia ingin segera berlari ke kamarnya untuk membuka album masa mudanya. Dia ingin memastikan bahwa wajah lelaki beruban itu adalah wajah tua milik seorang pemuda yang pernah dikenalnya. Wajah yang sesekali masih mampu menggelorakan rindunya.
Pita tetap melanjutkan pekerjaannya
dengan kepala tertunduk. Ada rasa cemas yang tiba-tiba menyergap dirinya
sehingga dia segan melirik lelaki itu, tapi nalurinya memberitahukan bahwa mata
lelaki itu sedang mengamati wajahnya, rambutnya, dan sekujur tubuhnya.
Lelaki itu menarik napas panjang.
Ada kelegaan terbias di wajahnya. Lalu dia berkata dengan santun, ”Aku tidak
suka minum tuak. Aku mampir karena membaca papan nama di depan kedai tuakmu
ini. Nama siapa yang kau gunakan?” Pita menunduk. Walau telah berhasil
memendam cintanya, dia tetap merasa malu untuk menjawab pertanyaan itu. Lelaki itu terdiam sejenak. Dahinya
berkerut. Lalu dia berkata, ”Maaf karena aku sangat lancang bertanya. Mengapa
kau namai Martohap? Bukankah nama Songgop lebih berarti untukmu?”
Sekujur tubuh Pita mulai menggigil. ”Apakah kau pulang untuk perempuan
yang kau cintai itu?”
”Aku tidak pulang. Aku datang!”
jawab lelaki itu. Matanya menatap tajam.
”Aku yakin bahwa kau mengenal
perempuan yang kumaksud. Kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu, perempuan
itu diperistri oleh anak Kepala Kampung ini,” sambungnya.
Pita membisu kembali. Napasnya
tersendat.
”Namaku Martohap.”
Pita bangkit dari kursinya.
Ditinggalkannya lelaki itu.
Di dalam kamarnya yang terletak di
belakang kedai tuaknya, dia tak mampu menahan air matanya walaupun tak tahu
pasti apa sesungguhnya yang dia tangisi. Apakah dia menangis karena terharu
akan pertemuan itu atau menangis karena menyesal telah memberikan hatinya
kepada lelaki itu. Gara-gara lelaki itu, tak ada lagi hati yang tersisa untuk
dia berikan kepada lelaki lain.
Tahun demi tahun telah dilaluinya
dalam kesendirian. Dinikmatinya kesendirian itu sambil menunggu lelaki itu
pulang untuk mengembalikan hatinya. Nama lelaki itu digunakannya menjadi nama
kedai tuaknya. Setiap orang yang melewati kedai tuaknya dapat membaca nama itu
dengan jelas. Dia memang ingin menyapa dan mengundang lelaki yang memiliki nama
yang sama untuk singgah di kedai tuaknya.
Di dalam hatinya, Pita berkali-kali
menyebut nama Tuhannya. ”Tuhan, akhirnya kau kirimkan lelaki itu untuk
menemuiku. Terima kasih Tuhan, mendekati usia senja aku masih sempat melihat
wajahnya.”
***
Dua puluh lima tahun yang lalu, Pita
sering termenung menimbang-nimbang perasaannya. Rencana pernikahan itu
membuatnya resah dan marah. Berulang-ulang kali pula dia bertanya dalam hati,
apakah aku benar-benar tega menistakan kehormatan yang telah berada dalam
genggaman orangtuaku?
Seminggu sebelum pesta pernikahannya
dilaksanakan, terjadi demonstrasi besar-besaran yang menuntut agar sebuah
pabrik bubur kertas ditutup. Masyarakat dari empat kampung di sekitar lokasi
pabrik bubur kertas itu bergerak serentak menebangi pohon-pohon di hutan
tanaman industri. Batang-batang pohon itu diseret untuk memalang jalan.
Dahan-dahannya dibiarkan berserakan di tengah jalan. Pohon besar di pinggir
jalan, yang batangnya berdiameter setengah meter, turut ditebang untuk memalang
jalan. Bahkan batu gunung dilinggis beramai-ramai hingga menggelinding ke
tengah jalan. Ribuan masyarakat berdiri di pinggir jalan sambil membawa
spanduk-spanduk tuntutan mereka, ”Jangan biarkan bau busuk merusak kehidupan
kami”. ”Stop menebar racun di Tanah Toba!”.
Truk-truk pengangkut kayu terpaksa
berhenti. Terjadi antrean panjang lebih dari 10 jam. Penumpang-penumpang bus
lintas Sumatera terpaksa turun untuk membantu aparat kepolisian dan TNI. Mereka
bekerja sama menyingkirkan batang-batang pohon yang menghalangi jalan.
Dua hari setelah demonstrasi itu,
orang-orang asing berseragam dan berbaju preman terlihat hilir-mudik ke
luar-masuk kampung. Masyarakat saling berbisik. ”Kepala Kampung dituduh sebagai
penggerak demo.”
”Beberapa anggota masyarakat sedang
dicari.”
”Yang dicap sebagai tokoh harus
segera bersembunyi!” Dan calon mertuanya sempat menghilang beberapa hari. Ada
yang mengatakan sedang ditahan, tapi berita-berita di televisi mengatakan
sedang diinterogasi. Beberapa hari kemudian, Kepala Kampung kembali terlihat
sibuk mengadakan rapat dengan masyarakatnya.
Hari pernikahan itu tentu urung dilaksanakan,
tapi tepat pada hari itu tersiar kabar pengangkatan kepala kampung yang baru.
Masyarakat kembali berbisik-bisik.
”Kepala kampung yang baru itu
langsung ditunjuk oleh pemerintah.” Pada saat yang sama, calon mertua Pita
menyatakan tak akan mundur dari jabatannya. Sejak saat itu demonstrasi yang
dilaksanakan terpecah dua. Ada kubu yang mendukung. Ada kubu yang menolak. Dan
sejak saat itu pula, Songgop, pemuda yang akan menikahinya menghilang. Dia
dicap sebagai salah seorang aktivis yang membantu bapaknya mempersiapkan
demonstrasi besar-besaran itu.
Martohap juga menghilang. Masyarakat
di kampungnya menganggap dia melarikan diri karena kalah memperebutkan Pita, si
perempuan kampung yang cantik dan cerdas. Tapi Pita menganggap Martohap yang
menjadi pemenang. Dia telah mencicipi manisnya bibir pemuda itu.
Bibir Martohap memang telah membuat
kuncup bunga di hati Pita mekar bersamaan waktunya dengan sukaria pemuda dan
pemudi sekampungnya. Pada malam itu, mereka sedang menghias sebuah pohon cemara
menjadi pohon Natal. Beberapa pemuda-pemudi sibuk menyelipkan kabel lampu-lampu
kecil di antara daun-daun di sekeliling pohon. Tapi Pita memilih untuk membantu
Martohap menyangkutkan hiasan-hiasan salib dan serpihan-serpihan kapas. Ketika
pekerjaan mereka selesai, semua lampu gereja dimatikan. Kegelapan menyelimuti
mereka. Di balik rimbunnya pohon Natal, Martohap segera merengkuh dan mendekap
tubuh Pita erat-erat. Sebelum seseorang mencolokkan kabel ke stop kontak di
dekat altar gereja, pemuda itu telah selesai menciumnya. Ketika lampu-lampu
pohon Natal itu menyala indah berkelap-kelip, Pita dan Martohap saling tatap
penuh makna. Dan Songgop menatap curiga!
Dua tahun setelah demonstrasi
besar-besaran itu, Songgop kembali ke kampungnya. Dia pulang bersama seorang bayi
berumur beberapa bulan. Bayi itu berada dalam gendongan seorang perempuan yang
telah dinikahinya di Tanah Karo.
***
Sebelum tengah hari Pita membuka
kedai tuaknya. Tak lama kemudian dua orang lelaki masuk dan segera membuka
papan catur yang selalu tersedia di atas sebuah meja. Tapi sebelum menyusun
buah caturya, salah seorang menyapa.
Di dapur kedai tuaknya, Pita
termenung. Dia menyesal telah berbohong, tapi kalau berkata jujur, dia mungkin
akan lebih menyesal. Mereka akan bertanya, dan bertanya… hingga bisa merangkai
sebuah cerita. Lalu dia akan selalu curiga bila gelas-gelas dan botol-botol
tuak terkumpul di tengah meja. Akan semakin curiga bila mereka bercakap-cakap
dengan suara rendah. Akhirnya terusik ketika mereka tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak. Dia akan ditertawai di kedai tuaknya sendiri. Kalau merasa
sungkan, mungkin mereka akan pergi ke kedai tuak orang lain dan terbahak-bahak
di sana!
Pita pernah menegur. Dia tahu, saat
itu mereka sedang mempercakapkan seorang perempuan yang sudah berumur, tetapi
belum pernah dinikahi. Walaupun bukan dirinya yang sedang mereka percakapkan,
tetapi hatinya cemas. Sebelum mereka tertawa, dengan lantang dia menegur,
”Sudahlah! Jangan mempercakapkan cerita seperti itu. Apa kalian tak ingin
menjaga perasaanku?!”
Tegurannya membuat cerita yang
sedang mereka percakapkan dianggap telah selesai. Biasanya, cerita baru
dianggap selesai beberapa menit sebelum kedai tuak itu tutup. Tapi
kadang-kadang ada juga cerita yang bersambung ke malam berikutnya. Bila terjadi
seperti itu, biasanya seseorang dari malam sebelumnya dituntut untuk mengulang
apa yang telah dipercakapkan. Jadi selalu ada cerita yang dipercakapkan karena
orang-orang yang bercakap-cakap pada malam berikutnya, belum tentu semua sama
dengan orang-orang yang bercakap-cakap pada malam sebelumnya.
***
Setelah semua meja dibersihkan dan
kursi-kursi ditata kembali, Pita kembali menguatkan hatinya untuk duduk di
hadapan lelaki beruban itu.
”Mengapa kau datang lagi?”
”Untuk melihat siapa yang membantumu
menutup kedai tuak ini.”
”Aku sendiri yang melakukannya.”
”Mengapa suami atau anakmu tak ikut
membantu?”
”Aku belum pernah menikah.”
Martohap terkejut. Matanya sempat
berbinar. Dia baru tahu kalau pernikahan itu tak pernah dilaksanakan, padahal
rencana pernikahan itu yang membuat dia mempertaruhkan nasibnya di perantauan
dan selama dua puluh tahun membuatnya takut untuk pulang.
Walau membisu, Martohap tetap mengamati wajah yang dulu
sangat dikaguminya. Dulu? Tidak! Tidak! Bantah hatinya seketika. Sekarang pun
dia masih tetap mengaguminya. Dia memang sangat mengagumi perempuan yang tulus
dan tegar. Apalagi bila perempuan itu telah membuktikan dirinya tulus menikmati
kesendiriannya. Tegar mengikuti perjalanan hidupnya.
”Aku pun belum pernah menikah.”
Pita terbelalak. Untuk apa dia
mengatakan itu? Tentu dia tidak sedang merayu, katanya dalam hati. Lalu dia
tersenyum kecil. Dia tahu, Martohap memang tidak bisa merayu. Lelaki itu lebih
suka berpikir dan bertindak.
”Apakah seseorang yang telah
menjalani kesendirian selama puluhan tahun berani menjalani kebersamaan di
bagian akhir masa hidupnya? Bila mengenang cerita cinta sudah terasa indah,
mengapa perlu mempertaruhkan kebersamaan? Bila kebersamaan itu akhirnya
ternyata menyakitkan, bukankah nikmatnya kesendirian akan menjadi sia-sia?
Padahal kesendirian itu telah dinikmati hingga usia menjelang senja. Tak lama
lagi kematian akan datang untuk memisahkan kebersamaan. Mungkin naif bila
kusimpulkan, semakin tua menjalani kesendirian, semakin takut menghadapi
kebersamaan.”
”Untuk apa kau katakan itu?”
”Karena aku ingin pulang.”
”Pulanglah!” kata Pita ketus.
Hatinya meradang. Dengan sigap dia bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya
lelaki itu sebelum air matanya sempat menetes.
Martohap terkesima. Matanya nanar
menatap atap kedai tuak yang tak berlangit-langit itu. Lalu dia merogoh saku
bajunya dan meletakkan sebuah amplop di atas meja. Langkahnya gontai ketika
meninggalkan kedai tuak yang telah sepi itu.
***
Seperti biasanya, dua jam sebelum
tengah malam, Pita selalu sibuk mengelap sisa-sisa makanan dan tuak yang
tertumpah di atas meja. Dia masih tetap sendirian membersihkan dan merapikan
kursi-kursi kedai tuaknya. Setelah menutup kedai tuaknya, sesekali dia membuka
amplop yang ditinggalkan Martohap. Lalu dibacanya surat pendek itu untuk
kesekian kalinya, ”Pita, hingga sekarang aku tetap mencintaimu! Aku berbahagia
karena tak ada orang yang berhak melarangku untuk berhenti mengenangmu!”
Pita mengangkat kepalanya.
Ditatapnya kegelapan malam. Lalu bibirnya tersenyum. Ada segumpal kebahagiaan
ketika dia membayangkan seorang lelaki beruban yang tak pernah berani
melamarnya.
0 komentar:
Posting Komentar