Oleh: Osborn Oroh
Judul : Sirajatunda
Pengarang : Nukila Amal
Sumber : Kumpulan
cerpen kompas 2010 “Dodolitdodolitdodolibret’’
Tebal buku : 212
Delapan tahun lamanya
kubaktikan diriku untuk mempersiapkan mahakarya ini; kukunjungi banyak
perpustakaan, kukumpulkan buku-buku dan artikel, kuwawancarai para pakar yang
paham sejarah dan fasih berbahasa Sansekerta atau Jawa Kuno, bahkan di tahun
kelima ketika menikah, bulan maduku adalah wisata ke Candi Borobudur yang sang
raja rampungkan. Dengan keseriusan dan gelora membara yang demikian, aku yakin
tulisanku-yang pasti bakal epik-niscaya menjulang tinggi di antara segala
karyaku yang lain, baik yang tidak diterbitkan atau yang ditelantarkan. Satu-satunya
bukuku pernah terbit sembilan tahun lalu, yaitu sebuah novel yang tak laku.
Setelah itu belum ada lagi, dan ini gara-gara istriku.
Sekian ratus upayaku menulis
selalu digagalkannya. Setiap kali aku sedang asyik membayangkan plot, intrik,
dan hampir sampai pada poin-poin penting kemungkinan cerita novelku, setiap
kali itu pula istriku muncul dan bicara hal-hal remeh. Selalu tepat waktu.
Seakan dia bisa mengendus dari jauh kapan saja kumulai proses imajinatif
benakku, lalu datang menghancurkan bakal buah pikiranku di saat-saat genting.
Seakan dia tahu kapan waktunya memperalat pikiranku untuk hal-hal tak penting.
Perangai buruknya sama saja dengan orang-orang di kantor yang gemar mengajakku
bicara ini itu, melibatkanku dalam sejuta urusan. Terlalu. Kupikir semua mereka
lahir ke dunia untuk bersekongkol memberantas karya artistik manusia.
Baru tadi sore kubilang pada
istriku, kenapa kau begini anti-Hawa? Semua orang tahu, Hawa yang menggoda Adam
ke pohon pengetahuan, kenapa kau justru ingin aku jauh-jauh dari pohonku, malah
ingin menghancurkannya? Kenapa kau selalu membasmi buah pikiranku dan menyabot
proses penciptaan bukuku?
Diam-diam aku senang,
setelah sekian kali mengancam akan pulang, setelah menjerit-jerit padaku hampir
sejam lamanya, sore tadi istriku sungguhan pulang ke rumah orang tuanya. Tak
sadar dirinya telah memberkahiku sebuah malam Minggu bersejarah untuk akhirnya
kumulai novel sejarahku, sejak maghrib hingga subuh nanti. Aku menatap kertas
putih di layar laptop dan berpikir, sebaiknya kumulai dengan mempersiapkan
semacam suasana yang tepat bagi kerja intelektualku ini, apalah arti sejam dua
jam di malam ini dibanding delapan tahun persiapanku.
Aku lalu sibuk mencari
paduan pencahayaan yang tepat antara lampu kuning di sudut ruangan (untuk melembutkan
suasana), lampu duduk neon putih di atas meja (untuk mencegah kantuk dan
menerangi berkas), dan lampu neon di tengah ruangan (agar tetap waspada).
Kuputar-putar tombol lampu kuning untuk menyetel tingkat ketemaraman yang
tepat, kulengkung-lengkungkan gagang lampu duduk untuk mencari derajat yang pas
bagi jatuhnya sinar agar mataku tak silau. Kemudian kurapikan sebukit
referensiku; buku-buku, berkas dan bundel catatan yang berantakan lantaran
telah ditendang istriku sebelum dia keluar—kukira kakinya pasti agak sakit oleh
tendangan sekeji itu. Istriku lalu pergi ke kamar mengepak baju dengan berisik
dan menyemprotkan minyak wangi pada dirinya secara berlebihan. Dia tahu aku tak
suka wangi parfumnya. Bau musykil itu kini merebak di dalam rumah, khususnya di
kamar kerjaku, sebab dia sempat masuk menenteng koper untuk menjerit lagi
sebelum banting pintu –mungkin jeritan jangan cari aku atau semacam itulah.
Bahkan ketika dia sudah tak ada, baunya sengaja ditinggalkan untuk berkuasa,
seakan diberi mandat khusus untuk terus menggangguku.
Aku membuka lebar-lebar
pintu dan jendela, mengangin-anginkan ruang. Empat jam lamanya aku bersibuk
dalam persiapan menulis. Referensiku sudah rapi, malah aku sempat menikmati
secangkir kopi sebagai pelepas lelah sambil memutar lagu-lagu, hingga suatu
saat kusadari betapa cepat waktu berlalu. Buru-buru aku kembali ke depan meja.
Aku mulai memikirkan kalimat
pertamaku. Ini kalimat yang sungguh penting, penentu seluruh isi buku, begitu
pikirku, mesti orisinal. Saat kupikirkan perkara pentingnya kalimat pertamaku,
tiba-tiba kupikir ada baiknya minum segelas air putih terlebih dulu. Aku perlu
menenangkan diri, lagi pula banyak minum air putih itu baik, seperti pesan para
dokter. Aku pergi menenggak segelas air di atas rak, tiba-tiba membayangkan jus
nanas dari kulkas. Kuomeli diriku sendiri, jangan tergoda, sekali keluar dari
kamar, aku sangat mungkin akan berkeliaran di seantero rumah. Maka dengan
bijaksana, kuputuskan duduk lagi. Lima menit menatap karser kelap-kelip dengan
agak jemu, kuputuskan mengecek email sebentar. Aku terbawa suasana, klik
sana-sini ke berbagai situs internet. Sejam lebih aku wara-wiri sebelum
tiba-tiba ingat novelku. Kuomeli lagi diriku, kekurangdisiplinan semacam ini
tak boleh dipiara.
Aku duduk tegak dan mulai
mengerahkan segenap kemampuan imajinatif dan intuitifku untuk kalimat pertama.
Ketika salah satu bakal pikiranku tengah genting menguntum, mendadak sikuku
gatal. Saat kugaruk, melesatlah seekor nyamuk menuju kupingku, berdenging
nyaring. Tahu-tahu sepasukan nyamuk datang menyerang sekujur badanku, menukik
dalam pelbagai manuver semahir pilot pesawat tempur. Nyamuk patriot sialan,
keluhku dalam hati sambil bangkit menutup pintu jendela.
Melanjutkan berpikir,
dudukku tak lagi bisa tegak. Aku dibikin sibuk menepuk dan menggaruk badanku
yang gatal dan merah di sana-sini oleh terjangan nyamuk. Aku pura-pura tak
peduli. Namun dalam batinku, aku merasa sangat dirugikan sebab kini mesti
berpikir sambil mewaspadai mereka. Kewaspadaanku yang kian meningkat, di saat
yang sama, telah menindas pikiranku. Bagaimana aku bisa memunculkan buah karya,
jika para nyamuk begitu beringas memberantas buah pikiranku? Jangankan sempat
berbuah-buah, berbunga saja tidak, kuntum pun belum. Aku sebal memikirkan
nyamuk komplotan istriku, sebal badanku gatal-gatal. Kesebalan berganda itu
membuatku merasa perlu istirahat sejenak. Aku keluar menuju teras, menarik
nafas dalam-dalam.
Di langit ada bulan purnama.
Menatapnya membuatku ingat istriku, padahal aku tak ingin. Aku tak ingin mengingat
pertama kali ketemu istriku di acara pernikahan dan terpesona dengan suara
seraknya ketika dia menyanyikan lagu Bob Tutupoly diiringi organ tunggal.
Kubilang pada diriku sendiri, berapa orang wanita yang menyanyikan lagu Bob
Tutupoly di depan khalayak ramai? Hanya bisa dihitung jari. Baru kali ini
kusaksikan wanita menyanyikan lagu Bob Tutupoly, apalagi Widuri, apalagi dengan
begitu merdu dan syahdu. Wanita macam apa ini, yang begitu serius menyanyi
Widuri, tanyaku dalam hati, apa dia tidak khawatir dikira lesbian oleh
orang-orang? Jangan-jangan benar lesbian? Dan dia sedang menatap, di antara
para hadirin, seorang Widuri (atau Bob Tutupoly?) yang elok bagai rembulan oh
sayang seperti kata Bob Tutupoly kepada Widuri? Menelusuri arah tatapannya,
kutetapkan lima orang tersangka rembulan. Penasaran, kuhampiri biduanitaku
seusai menyanyi, saat dia mengambil minuman. Kukenalkan diri dan langsung
kutanya, Anda senang perempuan atau laki-laki? Biduanitaku tertawa keras, mesti
kubilang keras sekali, sampai aku terpesona yang kedua kali, sebab baru kali
ini kudengar ada wanita tertawa begitu keras –semacam tawa tak melengking
seperti umumnya wanita, pun bukan tawa membahana lelaki, tapi lebih serupa tawa
suatu makhluk tak berjenis kelamin yang bukan dari dunia ini. Dia tampak
surgawi, wujudnya bermandi sinar matahari, suaranya mengalun masih biduan
padahal dia tidak sedang menyanyi Widuri, bagai musik cinta yang turun dari
langit bersemilir ke telingaku mengenyahkan organ tunggal.
Aku jadi kangen pada
istriku, agak murung dengan prospek hari-hari bujangan; keluyuran cari makan,
memasak untuk satu orang, siapa yang akan mengantar ke dokter kalau mag-ku
kambuh. Menatap bulan, kuputuskan akan datang menjemput istriku besok pagi-pagi
sekali. Mungkin tidak pagi benar sebab aku perlu tidur sebentar, mungkin besok
malam, atau lusa—nantilah, seketika kalimat pertamaku selesai. Aku harus
memikirkan kalimatku terlebih dulu, hanya dengan cara itu aku bisa datang
padanya. Akan kubuktikan aku akhirnya telah menulis novelku, supaya dia tak
lagi menjerit-jerit seperti sore tadi. Kamu selalu menunda segala-gala, jerit
istriku, menunda mencicil rumah, punya anak, mengirim pos paketku, berangkat ke
kantor, menunda makan sampai mag lalu empat bulan menunda ke dokter, mau belok
mobil saja kamu tunda sampai mobil motor sepi. Tunda ini tunda itu, besok ya
say minggu depan ya say—kamu penunda sejati di segala bidang, lihat nasib
bukumu yang tak jelas itu, kalimat pertama saja tak ada, raja siapa tu namanya,
Siramatungga. Dan kamu Sirajatunda! Maharaja! Prabu! Begitulah, dalam salah
satu rentetan jeritnya, dengan tak senonoh dia mengata-ngataiku.
Tanpa menunda-nunda, aku
masuk lagi. Jika ingin istriku kembali, aku harus serius memikirkan kalimat
pertama. Aku duduk dan mulai berpikir keras. Begitu keras aku berpikir, entah
berapa lama, hingga kurasakan semacam lelah pikiran yang membekukan. Ketika
pikiranku hampir mendekati titik beku, tiba-tiba melintaslah sebuah kalimat
–buru-buru kuketik.
Panggil aku Samaratungga.
Aku girang, kalimat pertamaku
telah tertera di layar. Dengarlah bunyinya: nggi-ngga, ai-au-aaaa, tiga kata
senada seirama, musik sempurna. Daya desaknya begitu telak, menggoda, bahkan
memerintah. Kalau seseorang sudah memerintahkan panggil namanya dengan desak
semantap itu, niscaya banyak kejadian akan mengikuti. Kuucapkan kalimat itu
berulang-ulang dengan berwibawa.Di ulangan ke sekian, kudengar suaraku
tertunda.
Panggil aku Samaratungga.
Tunggu, berhenti! kuhardik
diriku. Aku mencurigai sesuatu, tetapi belum jelas benar. Lima menit kemudian
tiba-tiba jelaslah: oh tidak, itu Ishmael! Moby Dick! Herman Melville telah
duluan memikirkan dan menuliskan kalimat pertamaku! Orang itu mencoleng buah
pikiranku yang cemerlang, buah kalamku yang pertama di malam ini setelah
berjam-jam. Tidakkah Herman Melville tahu delapan tahun lamanya kupersiapkan
diriku untuk kalimat itu, tidakkah dia tahu kalau nasib rumah tanggaku ada di
situ, tega betul Herman Melville datang dengan mesin waktu dan merampas
kesempurnaan kalimatku.
Dengan getir kuhapus kalimat
yang cuma sesaat jadi milikku. Aku bersandar di kursi, menatap lesu layar yang
kembali putih kosong. Aku merasa tak berdaya. Dan tak orisinal. Dan frustrasi.
Semua hal yang bisa diperkatakan oleh manusia di dunia ini, telah pernah
dikatakan seseorang dalam sesuatu buku. Semua kalimat pertama yang mungkin,
telah habis dipikirkan dan dituliskan orang-orang. Sisanya adalah daur ulang.
Batinku menjerit pilu, oh buah pena, mahakarya, oh susastra!
Di antara jerit batinku,
sayup-sayup kudengar suara mengaji dari mesjid. Aku tersentak, sebentar lagi
subuh. Jangan menyerah! kuperingatkan diriku sendiri, ingat, istrimu
taruhannya. Aku kembali mulai berpikir keras.
Kuterus berpikir, hingga
kurasakan taraf kekerasanku dalam berpikir hampir baja. Aku memikirkan, jika
tak kupikirkan kalimat pertamaku, aku takkan bisa menjemput istriku, dan aku
menderita dibuatnya. Tapi jika kupikirkan kalimat pertamaku, aku juga
menderita, sebab sambil memikirkan kalimat pertamaku, di saat yang sama, aku
juga memikirkan bahwa jika tak kupikirkan kalimat pertamaku, aku takkan bisa
menjemput istriku, dan aku menderita berganda dibuatnya-lalu jika kuterus
pikirkan, aku akan menderita berganda-ganda. Seakan ke arah mana pun aku
berpikir, apa pun buah pikiranku, semata terantuk buah simalakama. Tak cuma
sebuah, namun berlipat ganda, dalam panen raya buah- buah Simalakama
Sirajatunda Samaratungga-kalimat pertama mahakaryaku menyelip entah di mana.
Memikirkan semua ini membuatku mengantuk dan ingin tidur saja. Tidur yang lama.
B.ISI RESENSI
1.Tema : Cerpen ini menceritakan
realita kehidupan khususnya para penulis dan memahami kesulitan para
penulis .
2.plot/alur : Plot ledakan alur
campuran
3.Gaya Bahasa : Bahasa Indonesia
-waktu : Sore ,Malam
-Tempat : Rumah , Kamar tidur , Meja kerja .
- Suasana : Bingung,melelahkan,Dilema
C.KESIMPULAN
Menurut saya
cerita ini realita kehidupan para penulis dan Masalah-masalah yang sering di
hadapi para penulis . Namun cerita ini memiliki nilai moral yang kuat sehingga
para pembaca seperti merasa diri nya yang ada di cerita.
Kelebihan Cerpen : Cerpen ini berisi
nilai moral yg sangat dalam terlbih untuk para penulis yang suka menunda-nunda
. seperti judul nya sendiri.
Kekurangan Cerpen : Cerpen
seperti catatan pribadi.
0 komentar:
Posting Komentar