Oleh: Leo Anggara
Sumber: Kompas, 12 Januari 2011
Peresensi:Siti Muyassarotul Hafidzoh*
Judul buku: Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia
Penulis: Agus Noor
Penerbit: Bentang Yogyakarta
Peresensi:Siti Muyassarotul Hafidzoh*
Judul buku: Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia
Penulis: Agus Noor
Penerbit: Bentang Yogyakarta
Indonesia adalah negeri
kaya raya. Kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia menjadi
modal paling utama rakyat untuk mengais rizki di dalamnya. Karena
begitu melimpah kekayaannya, tak salah kalau negeri Barat terpesona
untuk ikut serta mengais harta di bumi Nusantara. Portugis, Inggris,
Belanda, dan Jepang berturut-turut mengusung kekayaan Indonesia untuk
menambal kekurangan mereka. Francis Goude dalam Duuchculture Oversease
(2005) menyebut kaum pelancong ini telah melakukan pergundikan di
“tanah surga.” Iya, Goude melihat bangsa Barat begitu terpesona dengan
Indonesia karena menjanjikan surga di tanah yang teramat kaya ini.
Tetapi sungguh tragis
nasib para penghuni yang menetap di tanah surga ini. Para penghuni
justru menjadi “pengemis” di negerinya sendiri. Surga yang terkandung
di tanah mereka selalu digadaikan kaum pelancong yang tega dengan
saudara sendiri. Walau kemerdekaan telah diraih, tetapi para penghuni
terus menjadi ‘pengemis’ yang bagaikan hidup di perantauan. Lebih
mengenaskan lagi, mereka hidup distempel sebagai kaum miskin yang
diformalkan. Mereka mempunyai “Kartu Tanda Miskin” yang dibuat negera
untuk menentukan status kewargaannya. Dan negara begitu bangga membuat
ribuan kartu miskin buat para penghuni tanah surga.
Kegetiran inilah yang
direkam oleh Agus Noor dalam kumpulan cerpennya bertajuk “Sepotong
Bibir Paling Indah di Dunia”. Logika kehidupan semua terbalik di negeri
surga ini. Kebaikan dan keadilan menjadi sesuatu yang terus
disembunyikan, sementara kejahatan dna kerakusan terus dihadirkan di
berbagai penjuru sosok negeri. Jurus yang selalu digunakan untuk
menggadaikan martabat bangsa adalah dengan ‘sepotong bibir’. Pandai
bersilat lidah untuk mengelabuhi dan membohongi rakyat demi meraih
kekuasaan, harta dan jabatan yang diimpikan. ‘Sepotong lidah’ yang
hadir bukan dari sembarang orang, tetapi dari kaum berdasi atau
berpangkat bintang yang berderet-deret jabatan dan mobilnya.
Inilah yang sindir Agus
Noor sebagai “Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia”. Pemilik ‘sepotong
bibir’ ini begitu lincah memainkan bibir dan lidahnya tatkala tanah
surga ini akan memilih memilih wakil rakyat atau pemimpin negeri.
‘Sepotong bibir’ ini menjanjikan berbagai kemudahan dan kemewahan untuk
anak negeri. Mulai dari biaya kesehatan murah, sekolah gratis,
pemberantasan korupsi, minimalisir kemiskinan, kemudahan lapangan
kerja, meningkatkan martabat pertanian, menyantuni fakir miskin dan
anak terlantar, serta menghapus berbagai tindak kekerasan. Begitu fasih
‘sepotong bibir’ mengucapkan berbagai impian tersebut. Rakyat pun
tergiur dengan kefasihan yang diuraikan ‘sepotong bibir’.
‘Sepotong bibir’ kaum
elite negeri surga ini telah membuat beragam kegetiran yang terus
menghinggap di wajah rakyat jelata. Saking panjangnya kegetiran yang
dialami para rakyat jelata, mereka menjadi orang miskin yang bahagia,
yang kemiskinannya terus diwariskan kepada anak cucunya di berbagai
jalan raya dan kolong jembatan. Kaum miskin yang terus disantuni itu
dibuat bangga dengan formalitas tanda miskin yang dicetak negara. Kaum
miskin juga terus dibicarakan dalam berbagai seminar, rapat, diskusi,
penelitian, dan lainnya. Kemiskinan menjadi proposal kekuasaan yang
terus dilanggengkan untuk menjadi bahan strategis melakukan kampanye
pemilik ‘sepotong bibir’. Kalau kegetiran dan kemiskinan usai, bisa
jadi pemilik ‘sepotong bibir’ tidak memiliki lagi bahan pembicaraan
untuk menggoda kaum miskin yang sedang bahagia.
Dalam cerpen berjudul
“empat cerita buat cinta”, Agus Noor secara gamblang mengisahkan
kegetiran dalam sebuah cinta di negeri surga. Kisah awal mengukirkan
para pemetik air mata yang bangga dengan keuletan mereka membuat kaum
bawah mandi dengan air matanya. Setiap waktu, kaum miskin hanya bisa
menangisi kegetiran yang terus menerpa tanpa henti ini. Pergantian
pemimpin dan kebijakan tidak pernah membuat kaum miskin untuk tertawa
atau sekedar berbagai tawa dengan sesama. Sekelilingnya kaum miskin
selalu hadir kegetiran yang tak pernah terputus. Pemilik ‘sepotong
bibir’ tak henti-henti membuat kegetiran menjadi tangis air mata.
Setelah sukses meneteskan
air mata kegetiran, pemilik ‘sepotong bibir’ melanjutkan keculasannya
dengan menjahit kesedihan. Berkali-kali janji dilayangkan untuk
mengurangi kesedihan, tetapi ‘sepotong bibir’ justru membuat kesedihan
semakin menyedihkan, yakni dengan menjahitnya secara paksa tanpa
sedikitpun rasa persaudaraan. Kesedihan yang terus berlanjut semakin
ditumpuk-tumpuk, agar kaum miskin ‘memakan’ kesedihannya tanpa henti.
Kemudian dilanjutkan dengan melancong kepedihan, agar kesedihan terus
meninggap mencapai kesuksesan.
Sebelum sukses membuat
kepedihan, ‘sepotong bibir’ akan melanjutkan kesunyian agar terus
menerpa. Setiap kali mendapatkan bahagia, maka ‘sepotong bibir’ akan
menghadirkan kesunyian baru untuk menutup kebahagian tersebut. Lihatlah
kaum petani desa yang terus terlantar tatkala memanen hasil padinya,
karena harga gabah selalu turun tatkala musim panen tiba. Padahal biaya
obat, pupur, dan semacamnya begitu mahal. Datangnya kebahagian selalu
disambut dengan kegetiran yang begitu dahsyat, sehingga kaum miskin
hanya terus meneteskan air sebagai simbol perlawanan atas ‘sepotong
bibir’ yang hanya berjanji dan berjanji semata.
Walaupun tercecer dalam
berbagai cerpen, tetapi pilihan cerpen yang terkumpul ini membuktikan
keseriusan Agus Noor dalam mengkritik kebijakan negara yang tak pernah
bersahabat dan ramah terhadap kaum miskin. Karya ini unik dan autentik
dalam mengisahkan kegetiran dalam kecamuk kehidupan.
Kelebihan dari cerpen ini menarik
kekurangan nya cerita ini menggunakan bahasa yang berumpama .
kekurangan nya cerita ini menggunakan bahasa yang berumpama .
0 komentar:
Posting Komentar