Pages

Ads 468x60px

Sample Text

Selamat Datang di Cafebahasa dan Prosa-Bambang Setiawan-Blog Informasi Prosa-Jangan lupa isikan Komentar Anda demi perbaikan ke depan-Kirim artikel Anda untuk diposting-bbg_cla@yahoo.com

Senin, 05 November 2012

Resensi

 Oleh: Leo Anggara
Sumber: Kompas, 12 Januari 2011
Peresensi:Siti Muyassarotul Hafidzoh*
Judul buku: Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia
Penulis: Agus Noor
Penerbit: Bentang Yogyakarta

Indonesia adalah negeri kaya raya. Kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia menjadi modal paling utama rakyat untuk mengais rizki di dalamnya. Karena begitu melimpah kekayaannya, tak salah kalau negeri Barat terpesona untuk ikut serta mengais harta di bumi Nusantara. Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang berturut-turut mengusung kekayaan Indonesia untuk menambal kekurangan mereka. Francis Goude dalam Duuchculture Oversease (2005) menyebut kaum pelancong ini telah melakukan pergundikan di “tanah surga.” Iya, Goude melihat bangsa Barat begitu terpesona dengan Indonesia karena menjanjikan surga di tanah yang teramat kaya ini.
Tetapi sungguh tragis nasib para penghuni yang menetap di tanah surga ini. Para penghuni justru menjadi “pengemis” di negerinya sendiri. Surga yang terkandung di tanah mereka selalu digadaikan kaum pelancong yang tega dengan saudara sendiri. Walau kemerdekaan telah diraih, tetapi para penghuni terus menjadi ‘pengemis’ yang bagaikan hidup di perantauan. Lebih mengenaskan lagi, mereka hidup distempel sebagai kaum miskin yang diformalkan. Mereka mempunyai “Kartu Tanda Miskin” yang dibuat negera untuk menentukan status kewargaannya. Dan negara begitu bangga membuat ribuan kartu miskin buat para penghuni tanah surga.
Kegetiran inilah yang direkam oleh Agus Noor dalam kumpulan cerpennya bertajuk “Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia”. Logika kehidupan semua terbalik di negeri surga ini. Kebaikan dan keadilan menjadi sesuatu yang terus disembunyikan, sementara kejahatan dna kerakusan terus dihadirkan di berbagai penjuru sosok negeri. Jurus yang selalu digunakan untuk menggadaikan martabat bangsa adalah dengan ‘sepotong bibir’. Pandai bersilat lidah untuk mengelabuhi dan membohongi rakyat demi meraih kekuasaan, harta dan jabatan yang diimpikan. ‘Sepotong lidah’ yang hadir bukan dari sembarang orang, tetapi dari kaum berdasi atau berpangkat bintang yang berderet-deret jabatan dan mobilnya.
Inilah yang sindir Agus Noor sebagai “Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia”. Pemilik ‘sepotong bibir’ ini begitu lincah memainkan bibir dan lidahnya tatkala tanah surga ini akan memilih memilih wakil rakyat atau pemimpin negeri. ‘Sepotong bibir’ ini menjanjikan berbagai kemudahan dan kemewahan untuk anak negeri. Mulai dari biaya kesehatan murah, sekolah gratis, pemberantasan korupsi, minimalisir kemiskinan, kemudahan lapangan kerja, meningkatkan martabat pertanian, menyantuni fakir miskin dan anak terlantar, serta menghapus berbagai tindak kekerasan. Begitu fasih ‘sepotong bibir’ mengucapkan berbagai impian tersebut. Rakyat pun tergiur dengan kefasihan yang diuraikan ‘sepotong bibir’.
‘Sepotong bibir’ kaum elite negeri surga ini telah membuat beragam kegetiran yang terus menghinggap di wajah rakyat jelata. Saking panjangnya kegetiran yang dialami para rakyat jelata, mereka menjadi orang miskin yang bahagia, yang kemiskinannya terus diwariskan kepada anak cucunya di berbagai jalan raya dan kolong jembatan. Kaum miskin yang terus disantuni itu dibuat bangga dengan formalitas tanda miskin yang dicetak negara. Kaum miskin juga terus dibicarakan dalam berbagai seminar, rapat, diskusi, penelitian, dan lainnya. Kemiskinan menjadi proposal kekuasaan yang terus dilanggengkan untuk menjadi bahan strategis melakukan kampanye pemilik ‘sepotong bibir’. Kalau kegetiran dan kemiskinan usai, bisa jadi pemilik ‘sepotong bibir’ tidak memiliki lagi bahan  pembicaraan untuk menggoda kaum miskin yang sedang bahagia.
Dalam cerpen berjudul “empat cerita buat cinta”, Agus Noor secara gamblang mengisahkan kegetiran dalam sebuah cinta di negeri surga. Kisah awal mengukirkan para pemetik air mata yang bangga dengan keuletan mereka membuat kaum bawah mandi dengan air matanya. Setiap waktu, kaum miskin hanya bisa menangisi kegetiran yang terus menerpa tanpa henti ini. Pergantian pemimpin dan kebijakan tidak pernah membuat kaum miskin untuk tertawa atau sekedar berbagai tawa dengan sesama. Sekelilingnya kaum miskin selalu hadir kegetiran yang tak pernah terputus. Pemilik ‘sepotong bibir’ tak henti-henti membuat kegetiran menjadi tangis air mata.
Setelah sukses meneteskan air mata kegetiran, pemilik ‘sepotong bibir’ melanjutkan keculasannya dengan menjahit kesedihan. Berkali-kali janji dilayangkan untuk mengurangi kesedihan, tetapi ‘sepotong bibir’ justru membuat kesedihan semakin menyedihkan, yakni dengan menjahitnya secara paksa tanpa sedikitpun rasa persaudaraan. Kesedihan yang terus berlanjut semakin ditumpuk-tumpuk, agar kaum miskin ‘memakan’ kesedihannya tanpa henti. Kemudian dilanjutkan dengan melancong kepedihan, agar kesedihan terus meninggap mencapai kesuksesan.
Sebelum sukses membuat kepedihan, ‘sepotong bibir’ akan melanjutkan kesunyian agar terus menerpa. Setiap kali mendapatkan bahagia, maka ‘sepotong bibir’ akan menghadirkan kesunyian baru untuk menutup kebahagian tersebut. Lihatlah kaum petani desa yang terus terlantar tatkala memanen hasil padinya, karena harga gabah selalu turun tatkala musim panen tiba. Padahal biaya obat, pupur, dan semacamnya begitu mahal. Datangnya kebahagian selalu disambut dengan kegetiran yang begitu dahsyat, sehingga kaum miskin hanya terus meneteskan air sebagai simbol perlawanan atas ‘sepotong bibir’ yang hanya berjanji dan berjanji semata.
Walaupun tercecer dalam berbagai cerpen, tetapi pilihan cerpen yang terkumpul ini membuktikan keseriusan Agus Noor dalam mengkritik kebijakan negara yang tak pernah bersahabat dan ramah terhadap kaum miskin. Karya ini unik dan autentik dalam mengisahkan kegetiran dalam kecamuk kehidupan.

 Kelebihan dari cerpen ini menarik
kekurangan nya cerita ini menggunakan bahasa yang  berumpama .

0 komentar:

Posting Komentar

 
3

Sample text

Sample Text