Kapan Dunia Jadi Miliknya
Oleh
Eka Sutrisni (E.S Aquarius)
Kota
yang begitu besar, bahkan menjadi pusat kota diantara kota-kota yang ada di
Indonesia. Kota ini pun merupakan Ibu Kota serta tempat dimana Pemerintah pusat
berada. Dibawah panas teriknya matahari di kota Jakarta, lahirlah seorang bayi
mungil yang lucu dan tak berdosa. Tepatnya di bulan Agustus 2010, dia lahir di
tempat yang kotor dan panas. Kelahirannya pun tak sempurna seperti bayi-bayi
lainnya disaat terlahir di dunia.
Terdengar
suara tangis bayi mungil “eak, eak, eak”.
Semua
orang yang mendengar tangisan itu merasa senang dan mata mereka pun tertuju
pada bayi yang telah lahir. Tetapi nasib bayi itu sangat malang, belum genap
sepuluh hari, bayi itu sudah di opor kesana kemari. Bahkan bayi itu sempat
berada ditangan nenek dan tantenya.
Ketika
bayi mungil itu genap sepuluh hari, bayi mungil itu berada ditangan neneknya.
Tetapi, sang nenek tidak sanggup memelihara bayi itu. Untuk keperluan nenek
yang belum beruban itu pun masih kurang.
Disaat
bayi mungil yang tak berdaya itu diambil oleh tantenya, bayi itu tidak pernah
merasakan kasih sayang dari kelurganya. Melainkan, dia tersiksa sehingga badan
bayi mungil itu hanya tinggal tulang dan kulit saja. Selama tinggal dengan
tantenya, dia hanya diberikan susu bayi tiga kali dalam sehari. Karena tantenya
tidak sanggup untuk membeli susu bayi anak itu.
Dan
akhirnya, bayi itu dikembalikan ke Ibu kandungnya yang telah melahirkannya.
Untuk menghidupi bayi itu. Ibu kandungnya bekerja di diskotik. Untuk membeli
susu dan makanan untuk bayi mungil itu, Ibunya rela bekerja sebagai kupu-kupu
malam. Dia tidak perduli orang-orang mau berkata apa, yang penting anaknya bisa
minum susu dan makan.
Bayi
mungil itu selama ditinggal kerja oleh Ibunya, dia dititipi sama tetangganya.
Ibunya bukan hanya menitipi bayi mungil itu begitu saja, melainkan dibayar.
Orang yang merawat bayi itu dibayar sesuai dengan berapa lama ditinggal oleh
Ibunya bekerja.
Orang
yang merawat bayi mungil itu, hanya menjaga saja. Bahkan, susu yang dibuat
sudah dingin dan tidak layak untuk diminum oleh bayi masih diberikan. Sehingga
timbul penyakit yang orang-orang bahkan Ibunya sendiri tidak mengetahuinya.
Bayi itu, dititipi di tempat yang memang tidak layak untuk bayi mungil berteduh
dan berkembang.
***
Panas
terik membakar kota jakarta di bawah kolong jembatan kali jodoh. Kota jakarta
memang selalu panas, gersang tanpa pepohonan sehingga keringat membasahi tubuh
sepasang suami istri itu. Saat mereka duduk santai di sebuah tokoh dikolong
jembatan kali jodoh itu, mereka melihat seorang wanita menggendong bayi kecil
hilir mudik.
Bayi
yang hanya hanya tinggal tulang dan kulit saja, rambut lurus pirang tidak
lebat, mata cekung, hidung mancung dan mungil, pipi yang kempot seperti kakek-kakek yang tidak berdaya, bibir tipis mungil
tanpa senyuman dan tangisan terdengar.
Terlihatnya
bayi mungil, sepasang suami istri itu hanya melihat saja tanpa ada sepatah kata
pun yang keluar untuk bertanya. Berkali-kali wanita itu berjalan di depan
mereka sehingga timbul penasaran dari seorang ibu yang duduk disamping
suaminya. Di dalam hati sepasang suami istri itu bertanya-tanya.
“Siapa
bayi kecil yang di gendong wanita
itu?”
Sepasang
suami istri itu berasal dari kota Jambi, mereka berada di kota Jakarta karena
bekerja untuk memberi nafkah anak dan keluarganya. Si suami bekerja sebagai
sopir mobil ekspedisi yang mengangkut barang-barang untuk dibawa ke Jambi, dari
Jambi sopir mobil itu membawa besi dan barang rongsokan, sedangkan dari Jakarta
dia membawa barang-barang yang dibutuhkan untuk keperluan masyarakat di Jambi.
Sopir mobil itu bernama Pak Yudi. Sedangkan, wanita yang selalu bersama Pak
Yudi adalah Bu Darmi, seorang istri sekaligus Ibu yang setia dan bertanggung
jawab. Mereka memiliki dua orang anak, anak pertama perempuan yang bernama Kara
dan anak kedua laki-laki bernama Ramadhan. Anak-anak mereka sudah tumbuh
dewasa, jadi mereka berani meninggalkan mereka berdua. Sepasang suami istri itu
hanya memberikan kepercayaan pada kedua anaknya saja.
***
“Kasihan
anak itu, hanya di bopong-bopong
kesana-kesini saja.” Ujar sepasang suami istri dalam hati sambil melirik ke
arah bayi mungil yang tak berdaya itu.
“Pak.
Pak.” Panggil sang istri sambil mencolek badan suaminya.
“Ada
apa Bu?” jawab sang suami sambil menikmati cemilan di toko itu.
“Coba
Bapak lihat anak itu. Dari tadi cuma di bopong-bopong
saja, mana badannya kurus tinggal tulang dan kulit saja.”
“Biarlah,
anak orang juga. Terserahlah.” sang suami yang masih menikmati cemilannya.
Sang
istri pun terdiam. Dia hanya memandangi dan melihat bayi mungil yang tidak
berdaya itu sampai hilang dari pandangannya, setelah si suami berkata seperti
tidak perduli terhadap keadaan orang lain. Lima menit kemudian, tiba-tiba
wanita yang masih membopong-bopong
bayi mungil itu lewat lagi di depan
mereka. Wanita yang membopong bayi
mungil yang kurus kering itu bernama Dinda, sedangkan anak yang dibopongnya itu bernama Ramanda.
“Din,
anak siapa itu?” panggil Pak Yudi.
“Anak
akulah, Pak!” jawab Dinda yang sedang melangkahkan kakinya kearah Pak Yudi dan
Bu Darmi.
“Ah,
yang benar anak kau?” tanya Pak Yudi lagi sambil senyum-senyum.
Wanita
itu tidak menjawab pertanyaan Pak Yudi, melainkan hanya tersenyum saja.
“Pak,
sepertinya anak itu sakit.” Sahut Bu Darmi dengan rasa iba.
“Yang
benar, Bu?” jawab Pak Yudi terkejut dan langsung mengambil anak itu dari
pelukan Dinda.
“Din,
anak kau sakit dak?” tanya Pak Yudi dengan nada mendesak Dinda.
“Tidak Pak. Anak ini baik-baik saja.” Jawab Dinda
dengan santai.
Dengan
seketika sepasang suami istri itu bergegas meninggalkan toko itu dan membawa
bayi mungil yang tak berdaya itu ke rumah sakit yang dekat dengan kolong
jembatan dimana mereka berteduh.
Sesampainya
dirumah sakit, Pak Yudi langsung menemui Dokter spesialis anak dan mendesak
Dokter tersebut untuk memeriksa bayi mungil yang tak berdaya itu.
“Dok,
tolong periksa anak ini secepatnya.” Desak Pak Yudi dengan wajah cemas dan
takut.
“Sabar
ya pak!” jawab Dokter sambil memeriksa bayi itu.
Dokter
pun selesai memeriksa bayi itu, ternyata bayi itu menderita penyakit paru-paru
basah dan bayi ini juga ngokop kawah.
“Pak,
anak ini harus di rawat. Penyakit anak ini sudah parah sekali, kalau tidak
dirawat nyawa anak ini bakalan tidak
terselamatkan.” Dokter itu memarahi Pak Yudi dan Bu Darmi.
“Kami
bukan orangtuanya, Dok. Kami Cuma membantu wanita ini saja. Lagi pula tidak
mungkin kami yang menunggunya, kami juga punya dua orang anak di Jambi.
Sekarang terserah dari Ibunya saja, Dok.” Jawab Pak Yudi yang masih penuh
dengan kecemasan.
“Begini
saja Dok. Berikan kami obat untuk anak ini saja, untuk mencegah hal-hal yang
tidak ingin diharapkan. Untuk selanjutnya, terserah dengan wanita ini saja.”
Pak Yudi pun menunjuk Ibu dari bayi mungil yang tidak berdosa itu.
Dokter
pun langsung memberikan obat untuk pencegahan saja, agar penyakit anak itu
tidak bertambah parah. Sepasang suami istri beserta wanita dan bayi itu,
bergegas meninggalkan rumah sakit tersebut.
Sesampainya
di kolong jembatan dimana mereka berteduh, sepasang suami istri pun
beristirahat di rumah petak-petak yang telah mereka sewa untuk beberapa hari
menjelang dapat panggilan dari bos ekspedisi untuk muat barang.
Baru
saja mereka mau merebahkan badan untuk beristirahat, tiba-tiba terdengar bunyi
ketukan pintu yang begitu keras.
“Tok
Tok Tok”
“Siapa?”
tanya Bu Darmi terkejut.
“Bu,
Pak. Ini Dinda.” Sahut Dinda sambil mengetuk-ngetuk pintu dengan keras dan
terburu-buru.
“Ada
apa Din?” tanya Bu Darmi sambil membukakan pintu.
Saat
Bu Darmi membukakan pintu itu, dia terkejut melihat Dinda membawa anaknya dan
perlengkapan bayi.
“Pak. Pak. Dinda datang bawa anaknya!” panggil
Bu Darmi dengan rasa ketakutan.
Dengan
seketika Dinda menyerahkan bayi mungil yang tak berdaya dan perlengkapan bayi
kepada Ibu Darmi. Bu Darmi pun terkejut melihat Dinda menyerahkan anak itu
kepada Bu Darmi.
“Ada
apa Bu?” tanya Pak Yudi dengan nada terkejut. Pak Yudi pun mendekati pintu itu.
“Pak.
Bu. Ini Ramanda saya berikan kepada Bapak sama Ibu. Bapak dan Ibu rawatlah
Ramanda selayaknya anak sendiri. Ini pakaian dan perlengkapannya. Saya ikhlas
berikan ini kepada Bapak dan Ibu.” Tandas Dinda sambil menyerahkan anak dan
perlengkapan bayi itu dengan nada buru-buru.
Sepasang
suami itu pun hanya diam membisu dan tercengang dengan apa yang dilakukan oleh
Ibu dari anak itu.
Tanpa
berpikir panjang Bu Darmi pun menerima dan menggendong anak itu, dan Pak Yudi
menerima pakaian dan perlengkapan bayi itu.
Setelah
bayi beserta perlengkapan bayi itu diserahkan ke suami istri itu. Dinda
langsung bergegas meninggalkan rumah petak yang ditempati oleh Pak Yudi dan Bu
Darmi tanpa pamit lagi.
Semua
kenyataan yang telah diatur oleh Allah, apabila Allah berkehendak, semuanya
pasti akan terjadi. Manusia hanya bisa menerima dengan keikhlasan. Bayi mungil
yang diserahkan ke sepasang suami istri itu merupakan garis tangan yang telah
diatur oleh Allah, bahkan bayi mungil itu merupakan rezeki yang diberikan oleh
Allah kepada dua manusia yang tercipta.
Sepasang
suami istri tersebut harus menerimanya dengan ikhlas, bahkan bayi mungil itu
merupakan amanat yang diberikan oleh
Allah dan tidak boleh di sia-siakan ataupun di telantarkan. Meskipun, mereka
sudah memiliki dua orang anak.
“Pak,
apa benar anak ini diberikan ke kita dengan ikhlas?” tanya Bu Darmi yang masih
bingung dengan kejadian itu.
“Entahlah,
Bu! Bapak juga bingung. Kita lihat saja nanti sampai kita mau pulang ke Jambi,
apa anak ini akan diambil lagi oleh Ibunya atau tidak.” Jawab Pak Yudi dengan
nada bingung.
***
Jam
pun telah menunjukkan pukul 4 sore, sepasang suami istri itu pun mandi. Mereka
mandi secara bergantian, karena bayi yang bersama mereka tidak ikut mandi. Bayi
itu hanya di lap dengan kain basah saja, karena keadaannya yang memprihatinkan
sehingga Bu Darmi pun tidak berani memandikan bayi tersebut. Setelah mereka
selesai mandi, mereka pun menelpon anaknya yang ada di Jambi untuk memberitahukan
bahwa mereka punya adik kecil. Sengaja anak dari Pak Yudi dan Bu Darmi itu
diberitahu, karena takutnya mereka tidak menerima kehadiran adik baru mereka.
Handphone Kara
pun berdering.
“kring
kring kring”
Kara
pun mengangkatnya. “Hallo, Assalammualaikum.”
Jawab Kara dengan hati senang.
“Waalaikumsalam” jawab Ibu tercinta.
“Ka.
Rahmat mana?” tanya Ibu tegas.
“Lagi
mandi, Bu!”
“Mana
Bapak, Bu? Kok tidak dengar suaranya? Biasanya Bapak langsung nyambar.” Tanya
Kara bergurau.
“Tuh,
lagi main sama adik baru.” Jawab ibu senyum-senyum.
“Hah?
Adik baru? Ngambil dimana Bu?” tanya Kara terkejut.
“Baseng bae mungut. Dikasih orang.” Jawab
Pak Yudi menyerobot. Sedangkan Ibu
hanya tertawa saja.
“Ah,
iyo po? Ngota be Bapak nie? Anak
orang sanolah tuh yang dipinjamnyo.” Tandas Kara yang tidak
percaya.
“Mad.
Mad.” Teriak Kara memanggil adiknya.
“Apo, Mbak.” Jawab Ramadhan mendekat.
“Kito ado adik baru.” Ujar Kara dengan
wajah serius.
“Ah
iyo po Mbak?” tanya Ramadhan terkejut
dan dia pun langsung merampas Handphone
dari tangan Kara.
“Hallo, Pak. Benar yo kami punyo adik baru
lagi?” tanya Ramadhan serius.
“iyo Mad. Kau punyo adik baru lagi, cowok adik kau.” Jawab Pak Yudi halus.
“Kalau
Bapak sama Ibu sudah sampe Jambi,
nanti Bapak sama Ibu ceritoinlah.”
Jawab Pak Yudi sambil meyakini anak-anaknya.
“Bapak
ni ngota dak?” tanya Kara masih
penasaran dan tidak percaya.
“Dak percayo, kalau sudah di Jambi tengoklah. Pasti bawa adik baru.” Jawab
Pak Yudi yang masih meyakini anak-anaknya.
Tiba-tiba
suara tangisan bayi yang tak berdaya pun terdengar, rasa iba pun muncul dari
dalam hati Kara dan Ramadhan.
“Sudah
dulu yo? Bapak samo Ibu mau istirahat dulu capek.”
“Assalammualaikum. ” Tandas Pak Yudi
sambil senyum-senyum.
“Waalaikumsalam” jawab Kara dan Ramadhan
dengan nada kecewa.
Setelah
pembicaraan antara anak dan orangtua selesai. Kara dan Ramadhan pun melanjutkan
perbincangan mereka. Mereka masih merasa penasaran dan tidak percaya, kalau
mereka akan punya adik baru lagi.
“Mbak, dak biso bebaslah kito.” Ujar
Ramadhan sambil mengerutkan keningnya.
“Sudahlah,
mau kayak mano lagi. Bapak samo Ibu sudah mungut tu anak.” Tandas
Kara menenangkan hati adiknya.
Mereka
pun terdiam dan hanya merenung saja. Mereka takut, kalau cinta dan kasih sayang
mereka akan terbagi lagi oleh anak yang diberikan oleh orang tersebut.
Meskipun
begitu, Kara berusaha berpikir dewasa dan positif. Kara pun berusaha meyakini
adiknya agar bisa menerima kenyataan itu. Ramadhan adalah seorang anak
laki-laki yang sangat keras kepala, mau menang sendiri, manja, orangnya plin plan, kata-katanya suka meninggi
dan ucapannya pun kasar kalau sedang marah.
***
Waktu
yang telah menunjukkan pukul tujuh pagi itu, membangunkan Pak Yudi dan Bu Darmi
yang masih kelihatan lelah. Sedangkan, bayi itu masih tertidur pulas. Seperti biasa Pak Yudi dan Bu
Darmi bergantian mandinya. Setelah Pak Yudi selesai mandi, tiba-tiba handphone Pak Yudi berdering.
“kring
kring kring”
Pak
Yudi pun mengangkatnya.
“Hallo, bos.” Ujar Pak Yudi.
“Sekarang
muat barang, Pak.” Tandas singkat bos ekspedisi
itu.
Telepon
pun terputus, Pak Yudi dan Bu Darmi langsung bergegas membereskan semua pakaian
mereka dan mengangkatnya serta memasuki barang-barang mereka ke dalam mobil.
Pak Yudi pun menghidupkan mesin mobil dan memanaskan mesin mobil sebentar.
Tidak
lama kemudian, Pak Yudi dan Bu Darmi serta bayi mungil itu pun berangkat dan
meninggalkan kolong jembatan yang begitu menyesakkan dada.
Pagi
hari di kota Jakarta seakan-akan terasa siang yang panasnya membakar kulit.
Polusi udara pun telah menyesakkan dada penghuni kota Jakarta itu. Keramaian
yang membuat takut para pejalan kaki, dengan melihat kendaraan bermotor dan
mobil yang jalannya laju kencang sekali.
Demi
menghidupkan dan memberi nafkah anak istrinya, Pak Yudi rela mengambil resiko
bekerja di luar kota, tanpa mengenal lelah, hujan panas selalu ditempuhnya.
Meskipun Pak Yudi orangnya keras terhadap anak-anaknya, tapi dia tidak mengenal
rasa lelah ataupun sakit. Pak Yudi adalah seorang Bapak yang bertanggung jawab.
Selama
diperjalanan bayi mungil yang tak
berdosa itu menangis tersedu-sedu, kekhawatiran Bu Darmi dan Pak Yudi pun
muncul. Mereka bingung harus bagaimana, semuanya selalu salah. Di beri susu
tidak mau, di beri makan tidak mau, semuanya tidak ada yang kebenaran selalu
saja salah. Bu Darmi pun berusaha mendiamkan bayi itu semampunya, akhirnya bayi
itu pun diam dan tertidur lelap.
Akhirnya,
sampai juga di gudang tempat Pak Yudi muat barang ekspedisi yang akan dibawa ke
Jambi. Sembari menunggu barang-barang tersebut dimuat, Pak Yudi mencari rumah sakit
terdekat untuk memeriksa bayi tersebut. Mereka pun, akhirnya menemukan juga
rumah sakit yang dekat dengan gudang ekspedisi
itu. Pak Yudi langsung menemui Dokter ahli anak, dan menceritakan bahwa anak
tersebut menangis terus. Dokter pun memberitahukan mengapa anak itu menangis
terus, ternyata anak itu menahan rasa sesak nafas dan sakit. Karena penyakit
yang diderita oleh bayi malang itu.
Pemeriksaan
terhadap anak itu pun selesai, Pak Yudi beserta istrinya bergegas meninggalkan
rumah sakit tersebut dan mereka pun mencari makanan. Setelah mereka selesai
makan, mereka pun kembali ke gudang ekspedisi
itu. Sesampainya di gudang ternyata barang yang dimuat tinggal dikit, Pak Yudi
pun membantu para buruh kuli mengangkat barang-barang itu agar cepat selesai.
Akhirnya
barang pun selesai dimuat, Pak Yudi pun dipanggil oleh bos ekspedisi.
“Yud.”
Panggil bos ekspedisi itu.
“Ia,
bos.” Jawab Pak Yudi menuju masuk
kedalam gudang yang sekaligus kantor.
“Ini
nota barang. Dan ini uang jalan, nanti sisanya ambil di Jambi ya, pak!” ujar bos ekspedisi sambil senyum-senyum.
“Ok, bos. Terima kasih, bos.” Tandas Pak Yudi dengan hati
senang.
Pak
Yudi pun bergegas meninggalkan gudang tersebut setelah diberikan nota barang
dan uang jalan. Uang jalan dan nota barang tersebut seperti biasa diberikan ke
istrinya untuk dipegang. Pak Yudi pun menghidupkan mesin mobil dan langsung
berangkat meninggalkan gudang tersebut.
***
Malam
pun tiba lampu-lampu jalan pun telah menerangi kota Jakarta, pelabuhan Merak
pun masih lama dan jauh untuk ditempuh. Di malam hari yang sesak itu, Pak Yudi
masih mengendarai mobil. Matanya pun masih membelalak tanpa ada rasa lelah dan
kantuk sedikit pun. Bagaimana Pak Yudi tidak merasa kantuk? Ada bayi mungil
yang lucu dan tidak berdosa ikut bersamanya dan bermain selama dalam
perjalanan, tanpa ada terasa lelah Bu Darmi yang memangku bayi itu pun senang
sekali.
Waktu
pun telah menunjukkan pukul tujuh malam, mata Pak Yudi dan Bu Darmi pun mulai
lelah. Pak Yudi pun berhenti di rumah makan untuk beristirahat. Mereka
beristirahat didalam mobil, karena di rumah makan itu tidak ada tempat untuk
beristirahat, dan dengan terpaksa Pak Yudi, Bu Darmi dan bayi itu tidur didalam
mobil. Tetapi mereka membawa bantal dan selimut untuk persiapan. Jadi, mereka
tidak terlalu merasa kedinginan dengan angin malam yang menghembuskan dengan
tiupan angin yang menusuk kedalam tulang.
“Bu,
nanti banguni Bapak jam 4 subuh ya, Bu?” ujar sang suami meminta kepada
istrinya.
“Ia,
Pak.” Jawab sang istri dengan tuturnya yang lembut.
Waktu
terus berjalan, mata Pak Yudi pun terpejam. Bu Darmi pun ikut memejamkan
matanya, meskipun matanya terpejam, Bu Darmi masih bisa terbangun karena sang
bayi meminta susu.
Semuanya
terlihat sunyi hanya bunyi jangkrik yang terdengar, suara mobil lewat pun tidak
sekuat siang hari.
***
Malam
yang dingin telah berubah menjadi subuh, semilir angin subuh menusuk tulang
yang telah tua. Jam di handphone pun
telah menunjukkan pukul empat subuh. Bu Darmi pun membangunkan suaminya.
“Pak.
Pak. Bangun, sudah jam 4 subuh.” Panggil sang istri dengan nada lembut.
“Hmm.”
Pak yudi pun bangun membuka matanya dan menggeliat.
Pak
Yudi pun bergegas ke kamar mandi yang ada di rumah makan tersebut dan dia pun
mencuci muka agar tidak terasa kantuk lagi dan merasa segar lagi. Setelah
selesai mencuci muka, Pak Yudi pun memesan secangkir kopi hangat untuk
menyegarkan badannya dan menghangatkan badannya yang terasa dingin. Sembari
menikmati secangkir kopi hangat, Pak Yudi memanaskan mesin mobil.
“Bu,
mau minum kopi atau teh hangat?” tanya Pak Yudi menawarkan istrinya minuman.
“Teh
hangat saja, Pak.” Jawab sang istri sambil menggendong bayi mungil itu.
Pak
Yudi langsung pergi memesan secangkir teh hangat untuk sang istri tercinta yang
selalu menemaninya dikala suka maupun duka.
Setelah
mereka selesai menikmati secangkir teh dan kopi hangat mereka pun bergegas
meninggalkan rumah makan itu dan melanjutkan perjalanan, agar mereka cepat
sampai pulang ke Jambi.
Selama
diperjalanan mereka merasakan kekhawatiran terhadap bayi mungil itu. Mereka
bingung harus bagaimana, selama diperjalanan ketemu rumah sakit atau puskesmas
selalu mereka hampiri untuk memeriksa bayi mungil yang tak berdaya itu.
Sekian
lama perjalanan yang mereka tempuh, akhirnya sampai juga dipelabuhan Merak. Pak
Yudi pun membeli tiket kapal untuk nyebrang sampai ke pelabuhan Bakauhuni. Pak
Yudi membeli tiket dengan calo yang
menjual tiket, meskipun harganya sedikit mahal yang penting Pak Yudi bisa cepat
masuk ke dalam kapal itu. Pak Yudi pun langsung menuju salah satu kapal besar
yang memuat berpuluh-puluh mobil dan motor serta ratusan orang.
Mobil
Pak Yudi pun mengantri untuk memasuki kapal tersebut, sekian lama menunggu
akhirnya mobil Pak Yudi lolos juga untuk masuk ke kapal tersebut. Sesampainya
didalam dasar kapal tempat mobil-mobil besar berjejer, Pak Yudi pun mematikan
mesin mobil. Bu Darmi beserta bayi itu turun dari mobil dan naik ke bagian
tempat peristirahatan, sedangkan Pak Yudi masih memeriksa mobilnya dan mengunci
pintu mobil agar kejadian yang tidak diinginkan tidak terjadi. Setelah selesai
Pak Yudi menyusul istri dan bayi itu di tempat peristirahatan.
Didalam
kapal tempat peristirahatan, sang bayi menangis tersedu-sedu. Bu Darmi berusaha
mendiamkan bayi itu dan menina boboki
bayi itu.
“cup cup cup”
“Tak lilo, lilo lilo ledung, Rama bobok,
bobok, bobok sayang.” Lagu pun didendangkan oleh Bu Darmi, sang bayi pun
mulai diam dan tertidur.
“Bu,
anaknya sakit ya?” tanya salah satu penumpang wanita yang ada disamping Bu
Darmi yang sama-sama sedang beristirahat.
“Ia,
Bu.” Jawab Bu Darmi singkat.
“Memang
sakit apa Bu? Sudah di bawa berobat, Bu?” tanya wanita itu sambil mengelus-elus
kepala bayi mungil itu.
“Sudah,
Bu. Selama diperjalanan ketemu rumah sakit atau puskesmas kami selalu berhenti
dan memeriksa anak saya.” Jawab Bu Darmi dengan nada yang merasakan kelelahan.
“Kasihan
sekali anak ini. Berapa bulan anak ini, Bu?” tanya seorang wanita salah satu
penumpang yang ada dihadapan Bu Darmi.
“Baru
3 bulan, Bu.” Jawab Bu Darmi yang masih berusaha mendiamkan bayi mungil itu.
Perbincangan
pun berakhir, Bu Darmi yang masih menggendong anak itu pun berusaha untuk
memejamkan matanya. Tetapi, mata Bu Darmi tidak bisa terpejam. Sedangkan suaminya
Pak Yudi sudah terlelap dan sudah sampai ke negeri mimpi.
***
Tanpa
terasa kapal mulai merapat, dan mesin kapal pun sudah tidak terdengar lagi.
Hembusan angin laut melintasi wajah Pak Yudi, debur ombak dilautan mengiringi
langkah Pak Yudi dan Bu Darmi untuk menuju ke mobil mereka. Kapal pun akhirnya
sampai juga di pelabuhan Bakauhuni, tidak terasa 3 jam begitu singkat.
Gerbang
dasar kapal, dimana mobil-mobil besar berjejer pun terbuka. Para sopir-sopir
mobil pun menghidupkan mesin mobil mereka dan mobil pun keluar secara
bergantian. Mobil Pak Yudi mendapatkan giliran terakhir keluar dari kapal itu.
Sembari menunggu giliran Pak Yudi memeriksa mobilnya, sedangkan Bu Darmi dan
bayi tersebut sudah berada didalam mobil.
Giliran
mobil Pak Yudi pun telah tiba, Pak Yudi pun meninggalkan dasar kapal tersebut.
Tiba-tiba bayi malang itu menangis dengan kerasnya. Bu Darmi bingung, Pak Yudi
pun ikut bingung dan cemas.
“Ada
apa lagi, Bu? Kok anak kita nangis terus!” tanya Pak yudi bingung.
“Gak tahu, Pak.” Jawab Bu Darmi singkat.
Pak
Yudi pun menambah kecepatan mobilnya, sehingga mobil itu melaju kencang. Karena
kekhawatiran yang dirasakan kedua orangtua itu, dengan terpaksa Pak Yudi
melakukannya. Tetapi, Pak Yudi melaju kencang masih bisa mengendalikannya.
Selama
diperjalanan seperti halnya selama diperjalanan menuju pelabuhan Merak, setiap
kali bertemu rumah sakit ataupun puskesmas sepasang suami istri itu berhenti
dan mampir untuk memeriksakan keadaan bayi mereka. Apakah baik-baik saja atau
memburuk?
***
Perjalanan
yang begitu lama dan jauh mereka tempuh, akhirnya mereka sampai juga di Jambi.
Dimana kota yang mereka huni.
Bu
Darmi dan bayi itu di turunkan oleh Pak Yudi di depan lorong rumah mereka,
tidak jauh dari rumah mereka, sekitar 50 meter dari lorong pinggir jalan.
Baru
saja Bu Darmi turun dari mobil sambil menggendong bayi itu, para tetangga heran
dan heboh melihatnya. Banyak sekali pertanyaan yang diutarakan oleh tetangga
mereka.
“Mi, anak siapa yang kau bawa tuh?” tanya
Bu Atun salah satu tetangga Bu Darmi yang suka ngegosip.
“Anak
akulah.” Jawab Bu Darmi singkat.
Bu
Darmi terus saja berjalan tanpa melihat kanan kiri lagi. Dan setibanya di rumah
Bu Darmi membuka pintu, ketika masuk ke dalam rumah.
Kara
yang sedang asyik menonton film spongebob, menoleh kebelakang dan terkejut, tercengang melihat seorang bayi kurus
kering yang hanya tinggal kulit dan tulang digendong oleh Ibunya.
Kara
pun berpikir dan hatinya berkata “memang benar, aku punya adik kecil lagi.”
Kara pun masih terdiam terpaku dan hanya memperhatikan Ibunya yang terlihat
kelelahan.
Tiba-tiba
dari belakang Pak Yudi menyusul, dan berkata.
“Ka,
ini adik yang Bapak ceritakan kemarin di telpon tuh!”
“Kurus
nian, Pak!” tandas Kara singkat.
Bayi
itu pun diletakkan diatas kasur kecil yang khusus untuk bayi, Kara hanya
memandanginya saja tanpa menyentuh sedikitpun.
Pak
Yudi pun mengambil handuk dan bergegas membersihkan badannya, karena selama
diperjalanan pulang Pak Yudi tidak sempat mandi. Setelah Pak Yudi selesai
mandi, Bu Darmi pun bergegas mengambil handuk dan mandi.
Setelah
mereka selesai mandi dan beristirahat, tiba-tiba terdengar suara motor. Dan
ternyata Ramadhan pulang dari ngajar drum band di SD 61 Pudak.
Saat
Ramadhan membuka pintu dan masuk kerumah dengan sigap, dia pun terkejut melihat
bayi yang terbaring tak berdaya diatas kasur bayi, mata bayi itu melotot
selayaknya hendak menerkam orang.
“Pak,
ini yo yang Bapak bilang di telpon
kemarin?” tanya Ramadhan terkejut dengan nafas ngos-ngosan.
“Yo, ini bayinyo.” Jawab Bapak Yudi singkat.
“Ya
ampun, kurus nian tinggal tulang.”
Tandas Ramadhan ketus.
“Huss. Baseng bae kau ne dek.” Sambar
Kara.
“Ini
sekarang jadi adik kalian, anggaplah ini adik kalian sendiri. Jangan pilih
kasih.” Ujar Pak Yudi dengan nada lembut memberi pengertian pada anak-anaknya.
Kara
dan Ramadhan pun hanya diam saja dan menganggukkan kepala mereka. Karena mereka
masih belum terima kenyataan yang mereka hadapi.
Setelah
Pak Yudi memberikan pengertian kepada anak-anak mereka. Pak Yudi dan Bu Darmi
pun menceritakan semua tentang apa yang terjadi dengan bayi malang itu dan
asal-usul bayi tersebut.
***
Semakin
hari bayi itu mulai membaik dan badannya pun berisi dan mengembang seperti kue
donat yang mengembang.
Dibulan
ketiga bayi itu berada di keluarga Pak Yudi, tiba-tiba tubuhnya kejang-kejang
dan menangis terus. Kekhawatiran yang telah hilang muncul lagi. Bu Darmi pun
menangis melihat keadaan bayi itu, Pak Yudi langsung membawanya ke klinik
terdekat. Sesampai di klinik terpaksa bayi itu dirawat inap, karena takut
terjadi sesuatu. Keluarga Pak Yudi tidak perduli harus mengeluarkan berapa
banyak uang yang penting bayi yang telah dianggap anak mereka sendiri bisa
sembuh.
Beberapa
hari bayi itu dirawat tidak kunjung sembuh juga, akhirnya bayi itu dibawa ke
orang tua yang banyak orang bilang orang pintar. Pak Yudi membawa bayi itu
berobat ke orangtua terus menerus sampai sembuh. Akhirnya, bayi mungil pun
sembuh. Kekhawatiran ke dua orangtua pun berakhir.
Bulan
ketiga bayi mungil yang diasuh kedua orangtua itu, tumbuh menjadi bayi yang
sangat kuat dan lucu. Tawa dan isak tangisnya membuat orang yang mendengarnya
menjadi gemas terhadap bayi itu.
Saat
bayi mungil sedang bermain dengan Bu Darmi, tiba-tiba ada
wanita datang dan langsung membuka pintu tanpa mengucapkan salam.
“Ramanda.”
Panggil wanita yang masuk tanpa mengucapkan salam dan mengetuk pintu.
Bu
Darmi pun terkejut dan tercengang.
Kara pun yang asyik nonton langsung melompong melihat wanita itu, maen masuk
saja tanpa mengucapkan salam dan mengetuk pintu.
“Samo siapo kau datang, Din?” tanya Bu
Darmi terkejut.
“Sendiri
Bu.” Jawab wanita singkat dan langsung bergegas mengangkat bayi mungil itu.
Saat
wanita yang bernama Dinda itu menggendong bayi mungil itu, bayi mungil tersebut
menangis sekuat tenaganya dan mengamuk. Seakan-akan bayi itu takut dengan
wanita yang menggendongnya. Kara pun langsung bergegas merampas adik kecilnya,
dan mendiamkan bayi itu.
Kara
pun berjalan kedapur sambil menggendong bayi mungil itu, dan mendiamkannya. Bu
Darmi pun menyusul Kara.
“Siapo tu, Bu?” tanya Kara bingung.
“Itulah
yang mama Ramanda.” Jawab ibu khawatir.
“O, itu toh! Masuk rumah orang sembarangan
bae, dak pake acara ketuk pintu dan ngucapi salam lagi. Dak sopan. Dak punyo
adab.” Tandas Kara ketus.
Di
saat mereka sedang berbincang-bincang, tiba-tiba wanita itu menyusul kedapur.
Kara dan Bu Darmi pun terkejut.
“Kau
berapo lamo di Jambi, Din?” tanya
Kara dengan nada kesal.
“Dua
harilah. Soalnya aku kangen sama Ramanda.” Jawab wanita itu dengan wajah seperti
orang lolo.
“O. lamo nian dua hari.” Jawab Kara
sambil bergumam.
Kara
pun pergi keluar untuk menghindari bayi itu dari Ibunya. Kara melakukan hal itu
karena dia tidak ingin bayi mungil itu menangis.
“Pak,
antari Dinda ke tempat Bapaknya Ramanda, yuk!”
ajak Dinda membujuk.
“Ngapoin kau kesitu, Din? Kato kau dio dak mau tengok anak ini
lagi?” Pak Yudi bertanya ragu.
“Kemarin
dia ada sms, Pak! Katanya dia mau ketemu sama anaknya.” Dinda menjawab dengan
penuh rasa iba.
“Yo lah kalau gitu, nanti kito kesano.”
Kekesalan Pak Yudi pun menjadi mendalam melihat sikap dan perilaku Dinda.
Pak
Yudi, Bu Darmi, Dinda, Kara serta bayi mungil itu pun pergi menuju rumah dimana
Ayah dari anak itu tinggal. Yang mana Ayah dari bayi tersebut tidak mau melihat
bayi mungil tersebut. Entah apa sebabnya Ayah dari bayi itu tidak mau melihat
anaknya.
Sesampainya
dirumah dimana tempat keluarga Bapak dari anak itu tinggal, tidak bertemu
dengan Bapaknya. Melainkan, hanya bertemu nenek serta tante yang pernah merawat bayi itu.
Di
saat sepasang suami istri itu sampai dirumah tersebut. Tante dan juga neneknya
terkejut. Mereka bertanya-tanya “mengapa anak itu ada ditangan sepasang suami
istri tersebut” mereka pun tercengang melihatnya.
“Assalammualaikum”. Pak Yudi mengetok
pintu rumah itu sambil mengucapkan salam.
“Waalaikum salam”. Suara wanita yang
terdengar dari dalam rumah menjawab
salam dan melangkahkan kakinya kearah pintu rumah serta membuka pintu rumah
yang tertutup tadi. Ketika wanita tersebut membukakan pintunya, dia tercengang
melihat sepasang suami istri dan bayi yang pernah mereka rawat berada di tangan
sepasang suami istri itu.
Wanita
pemilik rumah pun mempersilahkan sepasang suami istri itu masuk, dan dari
belakang tiba-tiba Dinda menyusul.
“Assalammualaikum” ucapan salam yang
keluar dari mulut Dinda sambil menerobos masuk kedalam rumah, padahal dia belum
dipersilahkan masuk.
“Waalaikum…salam” wanita pemilik rumah
atau tante yang pernah merawat bayi mungil itu menjawab salam dari Dinda dengan
wajah yang bingung dan tercengang dengan kedatangan Dinda yang mendadak.
“Rapli
mana, Te?” Dinda bertanya tanpa ragu.
“Kau
ngapo kesini, Din? Dak puas kau di maki-maki samo Rapli
kemarin?” kata-kata ketus keluar dari wanita pemilik rumah.
“Aku
mau ketemu sama Rapli, Te. Aku mau lihati kalau anaknya sudah sembuh dan
sehat.” Ujar Dinda menangis.
“Din.
Kato kau Rapli mau lihat ini anak.
Tapi kok tantenyo bilang dio dak mau lagi tengok kau dan anak kau. Mano
yang benar?” pertanyaan dan kata-kata kesal keluar dari bibir Pak Yudi yang
sudah geram melihat Dinda.
“Kemarin
dia sms Dinda, Pak.” Dinda pun menangis tersedu-sedu.
“Akal-akalan
dia saja tu, Pak. Dinda tuh memang seperti itu sifatnya. Dak jelas.” Sahut wanita pemilik rumah kesal.
Wanita
pemilik rumah pun menceritakan semua kejadian sebenarnya tentang hubungan Dinda
dan Rapli. Ternyata, mereka berdua menikah dikertas satu lembar hitam diatas
putih. Kalau dalam agama disebut nikah sirih, nikah yang dibolehkan oleh agama
tapi tidak dibolehkan oleh hukum dan dalam pemerintahan. Mereka menikah pun
tidak direstui oleh keluarga dari Rapli.
Oleh
sebab itu, setelah anak mereka lahir. Mereka bercerai. Anaknya pun diambil oleh
keluarga dari Rapli. Tetapi, disaat mereka mau mengurusnya ternyata mereka
tidak sanggup untuk memelihara serta membesarkan bayi itu.
“O,
jadi gitu toh ceritanya.” Pak Yudi
menjawabnya dengan nada santai.
“Jadi
sekarang mau ngapoin lagi, Din? Rapli
sudah dak mau terimo kau lagi. Sekarang terserah samo kau, anak ini apo
masih mau ditemukan samo Bapaknyo apo
idak? Semuanyo terserah samo kau, keputusan ado di kau.” Pak Yudi menanyakan kepada Dinda dengan rasa kesal dan
kecewa.
“Tapi
ini masih ada sms dari Rapli, Pak! Dia mau ketemu sama anaknya karena dia
kangen.” Dinda masih menyangkal kesalahannya dan dia melihatkan isi sms itu ke
Pak Yudi.
“Sudahlah,
Din! Dak usah nyangkal lagi. Kau tuh…” ucapan dari pemilik rumah itu
pun terhenti dengan seketika dan dia juga masih menyalahkan Dinda.
Akhirnya
terjadilah peperangan mulut antara Dinda dan pemilik rumah itu atau tante dari
Rapli yang pernah mengasuh bayi mungil yang tak berdosa itu.
***
Matahari
yang sangat panas hingga menyentuh tulang dan sendi-sendi. Akhirnya, mereka
sampai juga kerumah. Pak Yudi pun merebahkan badannya diatas tikar pandan yang
dingin. Bu Darmi pun langsung menuju meja makan untuk membuatkan susu buat si
kecil. Sedangkan Dinda dan Kara masuk kekamar dan merebahkan badan mereka untuk
melepaskan rasa lelah.
Bu
Darmi yang sedang asyik menggendong dan memberikan susu pada si kecil.
Tiba-tiba Dinda datang dari arah kamar menghampiri Bu Darmi dan bayi mungil
itu. Dengan seketika teriakan dan tangisan keluar dari mulut si kecil.
Pak
Yudi yang sedang asyik tidur-tiduran langsung kaget dengan seketika. Dan
berteriak “Ado apo, Bu? Kok nangis kek
gitu.”
“Gak ada apa-apa kok, Pak!” Dinda
langsung menjawabnya.
Pak
Yudi pun langsung bangun dan menghampiri suara yang terdengar tangisan
tersebut. Dan ternyata, tangisan itu disebabkan oleh Dinda. Bayi mungil yang
tak bersalah itu berada di tangan Dinda. Padahal, bayi mungil itu tidak mau
digendong oleh Ibu kandungnya. Entah mengapa hal itu bisa terjadi. Bayi
memiliki kekuatan batin dan perasaan yang kuat.
Bayi
mungil itu merasa dia pernah diterlantarkan oleh Ibu kandungnya sendiri.
Bahkan, bayi mungil itu tahu bagaimana
sifat dan sikap Ibunya sendiri. Oleh sebab itu, bayi mungil itu tidak mau
bersama Ibunya sendiri yang melahirkannya. Bayi mungil itu sudah merasa
bahagia. Apalagi dia berada ditengah-tengah keluarga yang bisa menerima,
merawat serta memberikan kasih sayang terhadap dirinya. Selain itu, bayi mungil
itu juga mendapatkan kebahagiaan yang belum pernah dia rasakan dari lahir.
“Din,
kasih anak itu sama Ibu. Apo kau dak
kasian samo anak itu nangis terus.” Pak Yudi menyuruh Dinda dengan nada
marah.
“Berisik.”
Teriak Kara yang terkejut dan terbangun dari tidurnya.
Kara
pun langsung keluar dari kamar, dia pun menghampiri Dinda dan membentaknya. “Berisik tau dak? Orang lagi tiduk. Kau jugo
Din, anak lagi diam kau tangisi. Dak berisik apo kau dengarnyo.”
Dinda
tidak perduli dengan apa yang dikatakan oleh Kara. Dia masih saja menggendong
bayi itu.
“Susah yo ngomong samo orang lolo.” Kara
kesal melihat sikap Dinda.
Pak
Yudi dan Bu Darmi hanya bisa diam saja. Karena dia tahu kalau Kara sudah marah
kata-katanya sangat pedas melebihi cabe rawit.
***
Waktu
terus berputar, hari pun telah berganti. Siang itu di hari kedua, wanita itu
pun mau pulang ke Jakarta. Dia pun pamitan dengan Pak Yudi dan Bu Darmi, disaat
dia pamitan, dia tidak memiliki rasa malu meminta uang untuk ongkos pulang ke
Jakarta. Kara pun tercengang dan terkejut mendengar ujaran wanita itu meminta
uang. Dengan wajah tanpa dosa dan mengiba, wanita itu berkata “Bu, Pak. Dinda,
tidak ada uang untuk ongkos pulang. Dinda minta uang Bu.”
Bu
Darmi dan Pak Yudi pun terkejut dengan ujaran yang dikeluarkan dari mulut
wanita itu.
“Mau
berapa banyak uangnya?” tanya Pak Yudi kesal.
“Rp.
300.000,- saja Pak.” Jawab wanita itu dengan wajah yang tidak punya malu.
“Bu,
kasih uangnya.” Sahut Pak Yudi menyuruh Bu Darmi.
Kara
pun kesal, dia marah. Wajahnya pun dikerutkannya, tanpa ada senyuman yang
terhias diwajahnya. Kara melihat wanita itu dengan wajah sinis, wanita itu
menegur pun tak dihiraukannya. Kekesalan yang membuat hati Kara panas, sehingga
dia mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya dikeluarkan oleh seorang
wanita.
“Dasar wanita dak tahu diri, enak be dio
minta-minta duit. Emangnya dio siapo? Aku be minta duit Rp 5.000,- susah nian,
harus bantu-bantu dulu. Eh, dio malah maen minta bae.” tandas Kara bergumam
dengan nada kesal.
Tanpa
disengaja, Bu Darmi mendengar kata-kata yang diujarkan oleh Kara.
“Huss, dak baek ngomong gitu.” tandas Bu Darmi sambil berbisik-bisik.
Tidak
lama kemudian, Dinda melangkahkan kakinya keluar rumah.
“Bu,
Pak. Dinda pulang ya? Dinda titip Ramanda.” Tandas wanita tidak tahu malu itu
sambil berjalan.
Pak
Yudi dan Bu Darmi hanya mengganggukkan kepalanya saja tanpa mengeluarkan
kata-kata sedikit pun.
“Memang
wanita tidak tahu malu, katanya ikhlas berikan anaknya. Eh, malah nongol lagi. Dak jaleh. Besok-besok datang lagi tuh! Dikasih hati pasti minta jantung. Dio bilang gak bakalan lihat Ramanda kok.
Eh, malah nongol batang hidungnya. Dasar betino plin plan.” Ujar Kara
kesal.
“Sudahlah,
itu betino dak waras memang gitu.”
Tandas Pak Yudi mencela sambil senyum-senyum.
Kepergian
Dinda pun, membuat hati keluarga Pak Yudi tenang. Kara pun tidak lagi
menceritakan tentang Dinda lagi. Kekesalan yang dirasakan oleh Kara, membuat
dirinya menjadi penggosip.
Hari
terus berganti. Lima bulan bayi mungil itu diasuh telah berlalu. Kini pun telah
memasuki bulan ketujuh, dan usia bayi itu pun telah berusia 8 bulan. Rencana
yang telah dirancang bulan lalu pun telah mendekati, keluarga Pak Yudi memiliki
rencana untuk syukuran atas bayi itu dan mengubah nama bayi mungil yang tidak
berdaya itu menjadi Rizky. Yang mana nama tersebut memiliki arti yang sangat
dalam sekali, agar anak tersebut selalu memberikan rezeki kepada keluarga Pak
Yudi.
Melalui
bayi itu, Pak Yudi pun dengan mudah mendapatkan berkah dan karunia dari Allah
Swt. Semua yang direncanakan untuk bayi itu sudah matang sekali dan sudah pas.
Acara yang telah direncanakan pun besar-besaran, hiburannya pun siang malam.
Acara syukuran itu pun seperti acara pernikahan saja.
Acara
yang telah direncanakan pun telah tiba, tepatnya pada hari sabtu di awal bulan
maret. Tepatnya lagi tanggal 5 maret 2010. Semua yang telah diatur sedemikian
rupa dan telah disusun semaksimal mungkin berjalan dengan lancar dan sukses.
Dari acara siang sampai acara malam harinya, berjalan dengan lancar. Lauk pun
tidak ada yang berkurang, melainkan lebih dari yang diperkirakan. Bahkan, lauk
yang masih sisa banyak diberikan ke panti asuhan dan tetangga-tetangga di
sekitar rumah Pak Yudi. Tak lupa pula mereka pun membagikan lauk yang berlebih
itu ke keluarga besar dari Bu Darmi dan Pak Yudi.
Pak
Yudi beserta keluarganya merasa heran dan terkejut setelah tahu lauknya masih
sisa banyak. Mereka merasa seakan-akan rezeki itu melimpah ruah. Semenjak, bayi
mungil diasuh oleh keluarga Pak Yudi, yang memberikan kasih dan sayangnya
seolah-olah anaknya sendiri. Dari sanalah rezeki yang melimpah ruah itu datang.
Keluarga Pak Yudi pun bersyukur atas kehadiran bayi mungil yang tak berdosa
itu, ditengah-tengah keluarga Pak Yudi.
Acara
pun telah berlalu, waktu yang terus berputar menghantarkan keluarga Pak Yudi ke
usia bayi yang beranjak 10 bulan. Di usia itu, bayi mungil yang tak berdosa itu
belajar untuk melangkahkan kakinya. Langkah kaki yang masih kaku dan lemah itu,
membuat keluarga Pak Yudi geram dan ingin selalu menggendong bayi itu.
Melihat
keluguan bayi mungil itu, Kara tak rela untuk melepasnya. Meski kasih sayang
orangtuanya harus dibagi lagi. Tapi, terkadang Kara sering mengeluh dengan
melihat tingkah laku adik kecilnya yang nakal dan cengeng itu. Apalagi semenjak
bayi mungil itu sudah pandai merangkak dan belajar berjalan. Semakin Kara
dibuat kesal olehnya. Tapi, meskipun seperti itu Rizky juga adiknya meski bukan
adik kandung yang dilahirkan dari perut Ibunya.
***
Siang
hari yang begitu panas, mentari memancarkan panasnya hingga membakar kulit.
Kara yang sedang menikmati tidur siangnya harus terbangun dan terkejut
mendengar tangisan yang begitu keras dan membuat hati menjadi iba.
Meskipun
tangisan bayi itu semakin kuat, Kara tak perduli. Matanya yang begitu lelah
membuat Kara melanjutkan tidur siangnya. Walaupun Kara tidur siang tetap saja
tidak gemuk badannya.
“Ka,
bangun lagi. Tidur saja kerjaannya.” Teriak Ramadhan adik Kara sambil menarik
bantal yang dikenakannya untuk tidur.
“Ais, reseh nian. Dak ngenak-ngenaki orang
tiduk be.” Tandas Kara menyabetkan tangannya ke muka adiknya.
“Bu,
mbak dak galak bangun.” Teriak
adiknya memanggil sang Ibu.
“Ka.
Bangun. Jaga adik. Ibu mau masak.” Teriak sang Ibu membangunkan Kara.
“Kan, ado Ramadhan jugo. Masak nak aku nian.”
Tandas Kara menggerutu.
“Mad,
jago adik Iky. Ibu mau masak
sebentar.” Ujar Ibu kesal.
“Alamak, masak aku. Aku nih nak pegi ngajar
drum band.” Tandas adik Kara ketus.
“Mbak,
bangunlah lagi.” adik Kara mulai kesal.
“Ais, malas nean.” Tandas Kara
menggerutu.
Kara
pun bangkit dari tidurnya dan langsung menggendong Iky. Disaat Kara sedang
menggendong Iky, tiba-tiba ada seorang wanita langsung masuk saja ke dalam
rumah tanpa mengucapkan salam. Kara pun terkejut dan tercengang. Ternyata
wanita yang tidak punya sopan santun itu adalah Ibu dari bayi mungil yang
bernama Rizky.
Wanita
itu langsung saja merampas Iky dari tangan Kara. “Anak Bunda sudah besar
sekarang.” Ujar wanita sambil menciumi bayi mungil itu.
Bayi
mungil itu pun menangis kuat dan tersedu-sedu. Bayi itu menangis sekencang
mungkin dan tidak mau berhenti. Bahkan, bayi itu tidak mau diam digendong oleh
Ibu kandungnya. Bayi itu hanya tau kalau Bu Darmilah Ibu kandungnya.
“Jangan
nangis ya sayang!” ujar wania itu yang masih menggendong bayi mungil yang tak
berdosa itu.
“Sini,
Din! Nanti malam anak ini ngigau. Jangan
dipakso digendong.” Ujar Bu Darmi sambil mengambil bayi itu dari tangan
Dinda.
Wanita
itu pun menyerahkan Iky ke Bu Darmi, dan dengan seketika Iky pun diam serta
tertawa-tawa dan menangis lagi. Dinda pun heran melihat anaknya diam digendong
oleh Bu Darmi, sedangkan kalau digendong olehnya anak itu menangis tersedu-sedu
tanpa diam sedikitpun.
Dengan
seketika, Kara langsung menelpon Bapaknya yang sedang pergi membeli peralatan
mobil.
“Hallo,
Pak. Dinda datang lagi nih!” ujar Kara buru-buru dengan nada emosi.
“Ngapoin
lagi dio datang, katonyo dak mau lagi
datang tengok anaknyo. Udah ikhlas ngasih. Tapi kok masih datang jugo. Apo mau
dio tu?” tandas Bapak dengan nada kesal.
“Dak tau lah, Pak. Mangkonyo Bapak cepat
balek. Tanyo samo dio, apo maunyo. Mungkin
nak ngambek Iky dak, Pak?” Ujar Kara kesal.
Telpon
pun di tutup. Kara langsung mendekati Ibunya dan wanita itu.
“Ngapoin lagi kau kesini, Din?” tanya
Kara ketus.
“Aku
cuma mau lihat anak aku saja. Aku kangen sama anak aku.” Dinda menjawab dengan nada lembut.
“Kato kau dak galak lagi tengok anak kau.”
Tandas Kara menyindir.
“Huss, baseng bae kau nie Ka.” Sahut Ibu
berbisik.
“Biaklah Bu, biak dio tau. Jadi orang kok
plin plan, kalau nak ambek anaknyo bilang. Ini idak, nongol terus bosan
tengoknyo.” Tandas kara kesal sampai bibir atasnya naik.
“Aku
jugo kesini mau bilang ke tante dan neneknya Rapli, kalau Aku dak jual
Ramanda.” Dinda menangis tersedu-sedu.
Lagi
asyik-asyik mereka ngobrol, terdengar suara motor. Ternyata Pak Yudi pulang
dari mencari peralatan mobil.
“Ado apo, Din?” tanya Pak Yudi sambil
berjalan masuk ke dalam rumah dan mendekati Dinda.
“Gak ada apa-apa, Pak! Cuma kangen saja
sama Ramanda.” Jawab Dinda lembut.
“Kato kau, dak mau lagi nengok anak kau.”
Tandas Pak Yudi menyindir.
“Aku
kangen sama Ramanda, Pak.” Ujar Dinda melas.
“Bukannya dak boleh kau kangen samo anak ini.
Tapi, kasihan dengan perkembangan anak ini. Anak ini nanti bingung, dan
bertanya-tanya. Kau bilang ikhlas ngasih anak ini, tapi kau tengok terus. Kalau
kau nak ambek anak ini, ambeklah. Cuma aku minta ganti rugi beli susu samo
ngurusnyo bae. Bukan enak ngurus anak bayi neh! Repot.” Ujar Pak Yudi kesal
sambil mengerutkan dahinya dengan nada lembut.
Dinda
pun terdiam, karena mendengar ucapan dari Pak Yudi.
“Kau jangan takutlah, Din. Anak kau nih sudah
dianggap seperti anak sendiri. Hidupnyo samo pertumbuhannyo bakalan terjamin.
Jadi, kau jangan takut. Kau dak kasian tengok anak kau? Anak kau neh sering
sakit-sakit kalau kau tengok terus. Kau tenanglah, besok kalau sudah besak
pasti kami kasih tahu siapo Mak Bapak kandungnyo. Kami sudah berusaha nutupi
status anak ini, biak besaknyo dak diejek samo kawan-kawannyo. Tapi, kayaknyo
kau neh dak biso dibilangi. Sekarang terserah kaulah, kami dak biso berbuat
apo-apo lagi.” ujar Pak Yudi lembut dan memberi pengertian pada Dinda.
“Tenanglah,
Pak. Aku gak bakal ambil anak ini.
Aku sudah ikhlas berikan anak ini pada Bapak dan Ibu. Aku kesini lagi mau
ketemu sama tante dan neneknya Rapli. Aku dapat sms katanya aku jual anak aku
sama Pak Yudi.” Dinda menangis tersedu-sedu.
“Waktu itu kan, kito sudah nemui orang tu
dak? Kato orang tu mereka dak perduli lagi samo kau dan anak kau. Ngapo kau
masih nak kesano jugo?” Pak Yudi kesal.
“Dengar
dulu, Pak! Ini sms dari tantenya Rapli. Kata dia, aku jual anak aku sama Bapak.
Mangkanya aku kesini lagi untuk ngajak Bapak ketempat tante Rapli. Untuk menjelaskan
kalau aku gak jual anak ini sama Bapak. Aku gak terima, Pak. Dibilang jual
anak.” Dinda kesal dan menangis tersedu-sedu.
“Waktu
itu kan, Bapak juga sudah ngomong sama mereka kalau anak ini tidak Bapak beli
melainkan diberikan dengan ikhlas oleh Dinda sendiri. Dinda kan dengar sendiri
apa yang Bapak katakan sama mereka.” Pak Yudi berusaha memberikan penjelasan ke
Dinda dan menenangkan Dinda yang terlihat kesal dan marah dengan tuduhan
tersebut.
“Ya,
Pak.” Dinda menjawab dan menundukkan kepalanya dengan mata yang sembab.
“Syukurlah kalau gitu, sekarang yang
sudah-sudahlah. Jangan kau ulangi lagi. Dengar tu, Din?” Pak Yudi mulai meredamkan kekesalannya.
***
Setiap
kali Ibu dari bayi itu datang mengunjungi Rizky, orangtua angkat yang
mengasuhnya yang mana Rizky sudah dianggap menjadi anaknya sendiri sempat
merasakan kekecewaan yang mendalam. Padahal, orangtua beserta anak-anaknya itu
sudah menerima bayi itu dengan ikhlas, bahkan kasih sayang mereka telah
diberikan kepada bayi mungil yang tak berdosa itu. Akibat dari sikap dan sifat
ibunya, orangtua dan anak-anaknya selalu menceritakan bayi mungil yang tak
berdosa itu. Sehingga kehadiran Rizky menjadi bumerang bagi kehidupannya dan pertumbuhannya.
Apalagi
setiap kali anak itu dilihat oleh Ibu kandungnya, anak itu selalu sakit dan
menangis tanpa hentinya. Sehingga bayi itu terpaksa harus dirawat dirumah
sakit, karena sakitnya tidak kunjung sembuh.
Ketika mentari mau terbenam dan
berganti dengan bulan. Tiba-tiba, bayi mungil itu badannya panas tinggi dan
kejang-kejang. Bu Darmi pun panik. “Pak! Pak! Iky, Pak!” Ibu berteriak sambil
menangis.
“Ada apa sih, Bu? Teriak, teriak
kayak kebakaran jenggot aja.” Pak Yudi pun menghampiri istrinya.
Bu Darmi menangis hingga suaranya
serak. “ Pak, Iky badannya panas tinggi.”
“Ya, dikasih obat dong, Bu! Susah
benar.” Pak Yudi masih santai saja.
“Sudah, Pak! Tapi panasnya makin
tinggi.” Bu Darmi masih menangis sambil menggendong anak itu.
Bayi mungil itu semakin tinggi
panasnya, tangisan bayi itu pun semakin keras sehingga tersedak-sedak. Dan
tiba-tiba.
“Pak! Pak! Anak kita kejang-kejang,
Pak!” Bu Darmi panik dan menangis.
Pak Yudi pun ikut panik, dan bingung harus berbuat apa.
Dan akhirnya dia mengeluarkan motor dan berkata “Ayo, Bu! Kita bawa anak kita
ke klinik Bhakti Lestari.”
Klinik tersebut tidak jauh dari
rumah, mereka hanya menempuh dengan waktu lima belas menit saja. Kara yang baru
selesai dari shalatnya merasa bingung dan terkejut melihat orangtuanya panik.
Apalagi melihat Ibunya menangis sambil menggendong bayi mungil itu.
“Sebenarnya ada apa sih? Kok Ibu
nangis sampe segitunya. Gak biasa-biasanya.” Hati Kara bingung dan
bertanya-tanya, tanpa basa basi lagi dia langsung menuju kearah kedua
orangtuanya dan bertanya “Ada apa sih, Pak Bu?”
“Adik kamu, ka. Dia kejang-kejang.”
Ibu menjawab dengan terbata-bata.
“Apa? Kita harus segera membawanya
berobat, Bu.” Kara pun panik dan meneteskan air matanya. Kara langsung menelpon
adiknya untuk cepat pulang kerumah.
“Ayo Bu, cepat!” Pak Yudi mengajak
Bu Darmi sambil menghidupkan motornya.
Mereka pun langsung pergi menuju
klinik terdekat. Mereka terpaksa membawa bayi mungil itu ke klinik terdekat.
Karena mereka takut terjadi apa-apa, apabila mereka membawanya kerumah sakit.
Rumah sakit didaerah tempat tinggal mereka tidak ada yang dekat, semua rumah
sakit jauh dari rumah mereka.
Setelah sampai di klinik, Bu Darmi
langsung lari masuk ke dalam ruangan perawatan dan memanggil dokter. “Pak!
Tolong anak ini. Panasnya tinggi sekali, badannya juga kejang-kejang.” Bu Darmi
meminta tolong kepada Dokter yang ada di klinik itu untuk memeriksa dan
menyelamatkan anak itu.
“Sabar, Bu!” ucapan yang keluar dari
bibir dokter itu.
“Sabar, sabar, sabar gimana Pak? Anak
ini sudah hampir mau mati, masak disuruh sabar.” Pak Yudi mengamuk dan
marah-marah.
Dengan seketika datang suster
mengambil impus dan memberikan obat pada bayi itu. Dokter pun berkata “Pak, Bu.
Anak ini lebih baik dirawat saja. Takutnya nanti ada apa-apa dengan anak ini
kalau Cuma diberikan obat saja.”
“Baiklah kalau begitu, Dok! Mana
bagusnya saja. Mana yang terbaik untuk anak ini.” Pak Yudi mulai merasa lega.
Kara dan Ramadhan pun datang dengan
kepanikannya dia mencari ruangan dimana orangtuanya berada. Setelah ketemu
dimana ruangan yang dicari-cari, Kara pun langsung bergegas menghampiri dan
bertanya kepada orangtuanya “Pak, Bu. Gimana keadaan Iky?”
“Alhamdulillah sudah mulai membaik.
Tapi Iky harus dirawat.” Pak Yudi menenangkan Kara yang panik.
“Apa? Dirawat? Tapi, syukurlah tidak
terjadi apa-apa.” Kara terkejut.
“Kata dokter apa pak?” Ramadhan
bertanya kepada ayahnya dengan santai seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Kata dokter, Iky dirawat beberapa
hari. Untuk memastikan dia sebenarnya sakit apa. Kalau dua atau tiga hari ini
dia tidak kejang-kejang dan panas tinggi, dia boleh pulang kok.” Jawab Pak Yudi
santai.
“Syukurlah kalau begitu. Cepat
sembuh ya, dek?” Kara pun langsung mengucapkan syukur dan mendekati adiknya
sambil mengusap kepalanya.
Tiba-tiba Iky tertawa ceria. Dia
tidak perduli sakit dan tangannya di impus. Iky hanya menyenangkan dirinya,
dengan bermain bersama Pak Yudi dan Bu Darmi. Di dalam ruangan AC yang begitu
dingin, dia tidak perduli. Dia terus saja bermain dan bergurau dengan Pak Yudi
dan Bu Darmi.
Kara pun merasakan iri terhadap Iky,
karena Iky selalu dimanja dan diperhatikan. Sedangkan dia di cueki. Tapi, Kara
berusaha untuk mencari yang positif. Kara tidak ingin kesalahpahaman muncul,
karena orangtuanya perhatian dan sayang terhadap Iky.
Ramadhan pun mengompor-ngompori Kara
dengan perkataan yang membuat kakaknya merasa cemburu dengan Iky. “Mbak. Lihat
itu, Ibu dan Bapak! Perhatian dan sayang nian sama Iky. Sedangkan kita, anaknya
di cueki. Dianggap seperti tidak ada, padahal kita kan dari tadi disini.”
“Sudahlah, dek! Biarlah mereka
seperti itu. Kita kan sudah besar-besar. Jadi wajarlah.” Kara berusaha berpikir
positif dan memberikan penjelasan kepada Ramadhan adik kandungnya.
“Terserah mbak lah, dikasih tau dak
mau. Ya sudah.” Ramadhan mulai kesal.
“Kau nih! Kalau dibilangi baek-baek,
marah-marah.” Kara masih berusaha sabar dan member pengertian pada adiknya.
Kara berusaha mengambil perhatian
kedua orangtuanya yang asyik bermain dan bergurau dengan Iky. “Bu, Pak. Sudah makan belum?”
“Gak selera makan.” Bu Darmi masih
saja sibuk bermain dan bergurau dengan Iky. Dia tidak perduli anaknya bertanya.
“Bu, makanlah! Nanti sakit. Sudahlah
Iky sakit.” Pak Yudi pun ikut menyuruh
Bu Darmi untuk makan.
“Ya sudah kalau gitu, biar Ka
belikan makanan dilura.” Kara pun menawarkan diri dan berusaha mencari
perhatian kedua orangtuanya.
“Belilah nak. Ini uangnya. Beli nasi
bungkus sama gorengan ya?” Pak Yudi pun memberikan uang ke anaknya. Tanpa
berpikir panjang Kara pun langsung bergegas keluar untuk membeli makanan yang
telah dipesan oleh Bapaknya.
Selama tiga hari dua malam Iky
dirawat di klinik, badannya mulai berisi. Yang semula badannya hanya tinggal
tulang dan kulit saja, sudah mulai terlihat ada daging yang menutupi tulangnya
sehingga kulitnya tidak kelihatan kendor dan keriput seperti kakek-kakek yang
sudah renta.
Ibu dan Ayah dari anak itu, sangat
senang sekali melihat Iky gembira dan tersenyum. Bahkan, selama anak itu
dirawat dia tidak merasakan kalau dia sedang sakit. Melainkan, bayi mungil yang
tak berdaya itu selalu aktif dan senang berada diruangan rawat inap tersebut.
Yang lebih anehnya lagi, dia tidak merasakan dinginnya AC yang hidup diruangan
itu, melainkan badannya penuh dengan keringat seperti orang mandi.
Di hari ketiga, dokter yang
menangani penyakit Iky datang untuk memeriksa. Dokter pun menyatakan bahwa bayi
mungil yang lucu dan aktif itu diizinkan pulang, karena keadaannya sudah
membaik, bahkan lebih baik dari sebelumnya.
***
Kehidupan Rizky, bayi mungil yang
tak berdosa ini. Membuat semua orang menjadi iba kepadanya. Apalagi dengan
keadaan Ibu kandungnya yang bernama Dinda adalah seorang wanita kupu-kupu
malam. Nasib bayi mungil itu sungguh malang. Bahkan, kehadiran bayi mungil itu
sempat tidak diinginkan kelahirannya oleh Ibu kandungnya. Karena dia bingung siapa
yang harus bertanggung jawab atas anak itu.
Wanita
itu sempat merasakan pernikahan. Tetapi, pernikahan tidak sah dimata hukum.
Karena dia hanya nikah sirih, nikah dengan kertas satu lembar itu pun
menggunakan kertas HVS. Hanya bertuliskan hitam diatas putih.
Kepahitan
yang dialami oleh anak yang berasal dari kota yang begitu keras, yang sering
disebut-sebut orang kota metropolitan yaitu kota Jakarta, akhirnya hanya
meninggalkan kenangan dan cerita saja bagi bayi mungil itu yang tidak berdosa
itu. Akibat perbuatan orangtuanya, bayi yang tak berdosa itu harus menanggung
akibatnya.
Seperti
lirik lagu yang dinyanyikan oleh Wawa Marisa yang berjudul Si Kecil. “Kapankah
dia bahagia, kapankah dunia menjadi miliknya.”
Itulah
kutipan lagu sebagian liriknya mengandung arti yang sangat mendalam buat nasib
seorang bayi kecil mungil yang tak berdaya. Yang harus merasakan kepahitan
dunia.
0 komentar:
Posting Komentar