Pages

Ads 468x60px

Sample Text

Selamat Datang di Cafebahasa dan Prosa-Bambang Setiawan-Blog Informasi Prosa-Jangan lupa isikan Komentar Anda demi perbaikan ke depan-Kirim artikel Anda untuk diposting-bbg_cla@yahoo.com

Kamis, 13 September 2012

Cerpen "Kapan Dunia Jadi Miliknya"


Kapan Dunia Jadi Miliknya
Oleh Eka Sutrisni (E.S Aquarius)

Kota yang begitu besar, bahkan menjadi pusat kota diantara kota-kota yang ada di Indonesia. Kota ini pun merupakan Ibu Kota serta tempat dimana Pemerintah pusat berada. Dibawah panas teriknya matahari di kota Jakarta, lahirlah seorang bayi mungil yang lucu dan tak berdosa. Tepatnya di bulan Agustus 2010, dia lahir di tempat yang kotor dan panas. Kelahirannya pun tak sempurna seperti bayi-bayi lainnya disaat terlahir di dunia.
Terdengar suara tangis bayi mungil “eak, eak, eak”.
Semua orang yang mendengar tangisan itu merasa senang dan mata mereka pun tertuju pada bayi yang telah lahir. Tetapi nasib bayi itu sangat malang, belum genap sepuluh hari, bayi itu sudah di opor kesana kemari. Bahkan bayi itu sempat berada ditangan nenek dan tantenya.

Ketika bayi mungil itu genap sepuluh hari, bayi mungil itu berada ditangan neneknya. Tetapi, sang nenek tidak sanggup memelihara bayi itu. Untuk keperluan nenek yang belum beruban itu pun masih kurang.
Disaat bayi mungil yang tak berdaya itu diambil oleh tantenya, bayi itu tidak pernah merasakan kasih sayang dari kelurganya. Melainkan, dia tersiksa sehingga badan bayi mungil itu hanya tinggal tulang dan kulit saja. Selama tinggal dengan tantenya, dia hanya diberikan susu bayi tiga kali dalam sehari. Karena tantenya tidak sanggup untuk membeli susu bayi anak itu.
Dan akhirnya, bayi itu dikembalikan ke Ibu kandungnya yang telah melahirkannya. Untuk menghidupi bayi itu. Ibu kandungnya bekerja di diskotik. Untuk membeli susu dan makanan untuk bayi mungil itu, Ibunya rela bekerja sebagai kupu-kupu malam. Dia tidak perduli orang-orang mau berkata apa, yang penting anaknya bisa minum susu dan makan.
Bayi mungil itu selama ditinggal kerja oleh Ibunya, dia dititipi sama tetangganya. Ibunya bukan hanya menitipi bayi mungil itu begitu saja, melainkan dibayar. Orang yang merawat bayi itu dibayar sesuai dengan berapa lama ditinggal oleh Ibunya bekerja.
Orang yang merawat bayi mungil itu, hanya menjaga saja. Bahkan, susu yang dibuat sudah dingin dan tidak layak untuk diminum oleh bayi masih diberikan. Sehingga timbul penyakit yang orang-orang bahkan Ibunya sendiri tidak mengetahuinya. Bayi itu, dititipi di tempat yang memang tidak layak untuk bayi mungil berteduh dan berkembang.
***
Panas terik membakar kota jakarta di bawah kolong jembatan kali jodoh. Kota jakarta memang selalu panas, gersang tanpa pepohonan sehingga keringat membasahi tubuh sepasang suami istri itu. Saat mereka duduk santai di sebuah tokoh dikolong jembatan kali jodoh itu, mereka melihat seorang wanita menggendong bayi kecil hilir mudik.
Bayi yang hanya hanya tinggal tulang dan kulit saja, rambut lurus pirang tidak lebat, mata cekung, hidung mancung dan mungil, pipi yang kempot seperti kakek-kakek yang tidak berdaya, bibir tipis mungil tanpa senyuman dan tangisan terdengar.
Terlihatnya bayi mungil, sepasang suami istri itu hanya melihat saja tanpa ada sepatah kata pun yang keluar untuk bertanya. Berkali-kali wanita itu berjalan di depan mereka sehingga timbul penasaran dari seorang ibu yang duduk disamping suaminya. Di dalam hati sepasang suami istri itu bertanya-tanya.
“Siapa bayi kecil yang di gendong wanita itu?”
Sepasang suami istri itu berasal dari kota Jambi, mereka berada di kota Jakarta karena bekerja untuk memberi nafkah anak dan keluarganya. Si suami bekerja sebagai sopir mobil ekspedisi yang mengangkut barang-barang untuk dibawa ke Jambi, dari Jambi sopir mobil itu membawa besi dan barang rongsokan, sedangkan dari Jakarta dia membawa barang-barang yang dibutuhkan untuk keperluan masyarakat di Jambi. Sopir mobil itu bernama Pak Yudi. Sedangkan, wanita yang selalu bersama Pak Yudi adalah Bu Darmi, seorang istri sekaligus Ibu yang setia dan bertanggung jawab. Mereka memiliki dua orang anak, anak pertama perempuan yang bernama Kara dan anak kedua laki-laki bernama Ramadhan. Anak-anak mereka sudah tumbuh dewasa, jadi mereka berani meninggalkan mereka berdua. Sepasang suami istri itu hanya memberikan kepercayaan pada kedua anaknya saja.
***
“Kasihan anak itu, hanya di bopong-bopong kesana-kesini saja.” Ujar sepasang suami istri dalam hati sambil melirik ke arah bayi mungil yang tak berdaya itu.
“Pak. Pak.” Panggil sang istri sambil mencolek badan suaminya.
“Ada apa Bu?” jawab sang suami sambil menikmati cemilan di toko itu.
“Coba Bapak lihat anak itu. Dari tadi cuma di bopong-bopong saja, mana badannya kurus tinggal tulang dan kulit saja.”
“Biarlah, anak orang juga. Terserahlah.” sang suami yang masih menikmati cemilannya.
Sang istri pun terdiam. Dia hanya memandangi dan melihat bayi mungil yang tidak berdaya itu sampai hilang dari pandangannya, setelah si suami berkata seperti tidak perduli terhadap keadaan orang lain. Lima menit kemudian, tiba-tiba wanita yang masih membopong-bopong bayi mungil  itu lewat lagi di depan mereka. Wanita yang membopong bayi mungil yang kurus kering itu bernama Dinda, sedangkan anak yang dibopongnya itu bernama Ramanda.
“Din, anak siapa itu?” panggil Pak Yudi.
“Anak akulah, Pak!” jawab Dinda yang sedang melangkahkan kakinya kearah Pak Yudi dan Bu Darmi.
“Ah, yang benar anak kau?” tanya Pak Yudi lagi sambil senyum-senyum.
Wanita itu tidak menjawab pertanyaan Pak Yudi, melainkan hanya tersenyum saja.
“Pak, sepertinya anak itu sakit.” Sahut Bu Darmi dengan rasa iba.
“Yang benar, Bu?” jawab Pak Yudi terkejut dan langsung mengambil anak itu dari pelukan Dinda.
“Din, anak kau sakit dak?” tanya Pak Yudi dengan nada mendesak Dinda.
“Tidak  Pak. Anak ini baik-baik saja.” Jawab Dinda dengan santai.
Dengan seketika sepasang suami istri itu bergegas meninggalkan toko itu dan membawa bayi mungil yang tak berdaya itu ke rumah sakit yang dekat dengan kolong jembatan dimana mereka berteduh.
Sesampainya dirumah sakit, Pak Yudi langsung menemui Dokter spesialis anak dan mendesak Dokter tersebut untuk memeriksa bayi mungil yang tak berdaya itu.
“Dok, tolong periksa anak ini secepatnya.” Desak Pak Yudi dengan wajah cemas dan takut.
“Sabar ya pak!” jawab Dokter sambil memeriksa bayi itu.
Dokter pun selesai memeriksa bayi itu, ternyata bayi itu menderita penyakit paru-paru basah dan bayi ini juga ngokop kawah.
“Pak, anak ini harus di rawat. Penyakit anak ini sudah parah sekali, kalau tidak dirawat nyawa anak ini bakalan tidak terselamatkan.” Dokter itu memarahi Pak Yudi dan Bu Darmi.
“Kami bukan orangtuanya, Dok. Kami Cuma membantu wanita ini saja. Lagi pula tidak mungkin kami yang menunggunya, kami juga punya dua orang anak di Jambi. Sekarang terserah dari Ibunya saja, Dok.” Jawab Pak Yudi yang masih penuh dengan kecemasan.
“Begini saja Dok. Berikan kami obat untuk anak ini saja, untuk mencegah hal-hal yang tidak ingin diharapkan. Untuk selanjutnya, terserah dengan wanita ini saja.” Pak Yudi pun menunjuk Ibu dari bayi mungil yang tidak berdosa itu.
Dokter pun langsung memberikan obat untuk pencegahan saja, agar penyakit anak itu tidak bertambah parah. Sepasang suami istri beserta wanita dan bayi itu, bergegas meninggalkan rumah sakit tersebut.
Sesampainya di kolong jembatan dimana mereka berteduh, sepasang suami istri pun beristirahat di rumah petak-petak yang telah mereka sewa untuk beberapa hari menjelang dapat panggilan dari bos ekspedisi untuk muat barang.
Baru saja mereka mau merebahkan badan untuk beristirahat, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu yang begitu keras.
“Tok Tok Tok”
“Siapa?” tanya Bu Darmi terkejut.
“Bu, Pak. Ini Dinda.” Sahut Dinda sambil mengetuk-ngetuk pintu dengan keras dan terburu-buru.
“Ada apa Din?” tanya Bu Darmi sambil membukakan pintu.
Saat Bu Darmi membukakan pintu itu, dia terkejut melihat Dinda membawa anaknya dan perlengkapan bayi.
 “Pak. Pak. Dinda datang bawa anaknya!” panggil Bu Darmi dengan rasa ketakutan.
Dengan seketika Dinda menyerahkan bayi mungil yang tak berdaya dan perlengkapan bayi kepada Ibu Darmi. Bu Darmi pun terkejut melihat Dinda menyerahkan anak itu kepada Bu Darmi.
“Ada apa Bu?” tanya Pak Yudi dengan nada terkejut. Pak Yudi pun mendekati pintu itu.
“Pak. Bu. Ini Ramanda saya berikan kepada Bapak sama Ibu. Bapak dan Ibu rawatlah Ramanda selayaknya anak sendiri. Ini pakaian dan perlengkapannya. Saya ikhlas berikan ini kepada Bapak dan Ibu.” Tandas Dinda sambil menyerahkan anak dan perlengkapan bayi itu dengan nada buru-buru.
Sepasang suami itu pun hanya diam membisu dan tercengang dengan apa yang dilakukan oleh Ibu dari anak itu.
Tanpa berpikir panjang Bu Darmi pun menerima dan menggendong anak itu, dan Pak Yudi menerima pakaian dan perlengkapan bayi itu.
Setelah bayi beserta perlengkapan bayi itu diserahkan ke suami istri itu. Dinda langsung bergegas meninggalkan rumah petak yang ditempati oleh Pak Yudi dan Bu Darmi tanpa pamit lagi.
Semua kenyataan yang telah diatur oleh Allah, apabila Allah berkehendak, semuanya pasti akan terjadi. Manusia hanya bisa menerima dengan keikhlasan. Bayi mungil yang diserahkan ke sepasang suami istri itu merupakan garis tangan yang telah diatur oleh Allah, bahkan bayi mungil itu merupakan rezeki yang diberikan oleh Allah kepada dua manusia yang tercipta.
Sepasang suami istri tersebut harus menerimanya dengan ikhlas, bahkan bayi mungil itu merupakan amanat yang  diberikan oleh Allah dan tidak boleh di sia-siakan ataupun di telantarkan. Meskipun, mereka sudah memiliki dua orang anak.
“Pak, apa benar anak ini diberikan ke kita dengan ikhlas?” tanya Bu Darmi yang masih bingung dengan kejadian itu.
“Entahlah, Bu! Bapak juga bingung. Kita lihat saja nanti sampai kita mau pulang ke Jambi, apa anak ini akan diambil lagi oleh Ibunya atau tidak.” Jawab Pak Yudi dengan nada bingung.
***
Jam pun telah menunjukkan pukul 4 sore, sepasang suami istri itu pun mandi. Mereka mandi secara bergantian, karena bayi yang bersama mereka tidak ikut mandi. Bayi itu hanya di lap dengan kain basah saja, karena keadaannya yang memprihatinkan sehingga Bu Darmi pun tidak berani memandikan bayi tersebut. Setelah mereka selesai mandi, mereka pun menelpon anaknya yang ada di Jambi untuk memberitahukan bahwa mereka punya adik kecil. Sengaja anak dari Pak Yudi dan Bu Darmi itu diberitahu, karena takutnya mereka tidak menerima kehadiran adik baru mereka.
Handphone Kara pun berdering.
“kring kring kring”
Kara pun mengangkatnya. “Hallo, Assalammualaikum.” Jawab Kara dengan hati senang.
Waalaikumsalam” jawab Ibu tercinta.
“Ka. Rahmat mana?” tanya Ibu tegas.
“Lagi mandi, Bu!”
“Mana Bapak, Bu? Kok tidak dengar suaranya? Biasanya Bapak langsung nyambar.” Tanya Kara bergurau.
“Tuh, lagi main sama adik baru.” Jawab ibu senyum-senyum.
“Hah? Adik baru? Ngambil dimana Bu?” tanya Kara terkejut.
Baseng bae mungut. Dikasih orang.” Jawab Pak Yudi menyerobot. Sedangkan Ibu hanya tertawa saja.
“Ah, iyo po? Ngota be Bapak nie? Anak orang sanolah tuh yang dipinjamnyo.” Tandas Kara yang tidak percaya.
“Mad. Mad.” Teriak Kara memanggil adiknya.
Apo, Mbak.” Jawab Ramadhan mendekat.
Kito ado adik baru.” Ujar Kara dengan wajah serius.
“Ah iyo po Mbak?” tanya Ramadhan terkejut dan dia pun langsung merampas Handphone dari tangan Kara.
Hallo, Pak. Benar yo kami punyo adik baru lagi?” tanya Ramadhan serius.
iyo Mad. Kau punyo adik baru lagi, cowok adik kau.” Jawab Pak Yudi halus.
“Kalau Bapak sama Ibu sudah sampe Jambi, nanti Bapak sama Ibu ceritoinlah.” Jawab Pak Yudi sambil meyakini anak-anaknya.
“Bapak ni ngota dak?” tanya Kara masih penasaran dan tidak percaya.
Dak percayo, kalau sudah di Jambi tengoklah. Pasti bawa adik baru.” Jawab Pak Yudi yang masih meyakini anak-anaknya.
Tiba-tiba suara tangisan bayi yang tak berdaya pun terdengar, rasa iba pun muncul dari dalam hati Kara dan Ramadhan.
“Sudah dulu yo? Bapak samo Ibu mau istirahat dulu capek.”
Assalammualaikum. ” Tandas Pak Yudi sambil senyum-senyum.
Waalaikumsalam” jawab Kara dan Ramadhan dengan nada kecewa.
Setelah pembicaraan antara anak dan orangtua selesai. Kara dan Ramadhan pun melanjutkan perbincangan mereka. Mereka masih merasa penasaran dan tidak percaya, kalau mereka akan punya adik baru lagi.
Mbak, dak biso bebaslah kito.” Ujar Ramadhan sambil mengerutkan keningnya.
“Sudahlah, mau kayak mano lagi. Bapak samo Ibu sudah mungut tu anak.” Tandas Kara menenangkan hati adiknya.
Mereka pun terdiam dan hanya merenung saja. Mereka takut, kalau cinta dan kasih sayang mereka akan terbagi lagi oleh anak yang diberikan oleh orang tersebut.
Meskipun begitu, Kara berusaha berpikir dewasa dan positif. Kara pun berusaha meyakini adiknya agar bisa menerima kenyataan itu. Ramadhan adalah seorang anak laki-laki yang sangat keras kepala, mau menang sendiri, manja, orangnya plin plan, kata-katanya suka meninggi dan ucapannya pun kasar kalau sedang marah.
***
Waktu yang telah menunjukkan pukul tujuh pagi itu, membangunkan Pak Yudi dan Bu Darmi yang masih kelihatan lelah. Sedangkan, bayi itu masih tertidur pulas. Seperti biasa Pak Yudi dan Bu Darmi bergantian mandinya. Setelah Pak Yudi selesai mandi, tiba-tiba handphone Pak Yudi berdering.
“kring kring kring”
Pak Yudi pun mengangkatnya.
Hallo, bos.” Ujar Pak Yudi.
“Sekarang muat barang, Pak.” Tandas singkat bos ekspedisi itu.
Telepon pun terputus, Pak Yudi dan Bu Darmi langsung bergegas membereskan semua pakaian mereka dan mengangkatnya serta memasuki barang-barang mereka ke dalam mobil. Pak Yudi pun menghidupkan mesin mobil dan memanaskan mesin mobil sebentar.
Tidak lama kemudian, Pak Yudi dan Bu Darmi serta bayi mungil itu pun berangkat dan meninggalkan kolong jembatan yang begitu menyesakkan dada.
Pagi hari di kota Jakarta seakan-akan terasa siang yang panasnya membakar kulit. Polusi udara pun telah menyesakkan dada penghuni kota Jakarta itu. Keramaian yang membuat takut para pejalan kaki, dengan melihat kendaraan bermotor dan mobil yang jalannya laju kencang sekali.
Demi menghidupkan dan memberi nafkah anak istrinya, Pak Yudi rela mengambil resiko bekerja di luar kota, tanpa mengenal lelah, hujan panas selalu ditempuhnya. Meskipun Pak Yudi orangnya keras terhadap anak-anaknya, tapi dia tidak mengenal rasa lelah ataupun sakit. Pak Yudi adalah seorang Bapak yang bertanggung jawab.
Selama diperjalanan bayi mungil yang tak berdosa itu menangis tersedu-sedu, kekhawatiran Bu Darmi dan Pak Yudi pun muncul. Mereka bingung harus bagaimana, semuanya selalu salah. Di beri susu tidak mau, di beri makan tidak mau, semuanya tidak ada yang kebenaran selalu saja salah. Bu Darmi pun berusaha mendiamkan bayi itu semampunya, akhirnya bayi itu pun diam dan tertidur lelap.
Akhirnya, sampai juga di gudang tempat Pak Yudi muat barang ekspedisi yang akan dibawa ke Jambi. Sembari menunggu barang-barang tersebut dimuat, Pak Yudi mencari rumah sakit terdekat untuk memeriksa bayi tersebut. Mereka pun, akhirnya menemukan juga rumah sakit yang dekat dengan gudang ekspedisi itu. Pak Yudi langsung menemui Dokter ahli anak, dan menceritakan bahwa anak tersebut menangis terus. Dokter pun memberitahukan mengapa anak itu menangis terus, ternyata anak itu menahan rasa sesak nafas dan sakit. Karena penyakit yang diderita oleh bayi malang itu.
Pemeriksaan terhadap anak itu pun selesai, Pak Yudi beserta istrinya bergegas meninggalkan rumah sakit tersebut dan mereka pun mencari makanan. Setelah mereka selesai makan, mereka pun kembali ke gudang ekspedisi itu. Sesampainya di gudang ternyata barang yang dimuat tinggal dikit, Pak Yudi pun membantu para buruh kuli mengangkat barang-barang itu agar cepat selesai.
Akhirnya barang pun selesai dimuat, Pak Yudi pun dipanggil oleh bos ekspedisi.
“Yud.” Panggil bos ekspedisi itu.
“Ia, bos.” Jawab Pak Yudi menuju masuk kedalam gudang yang sekaligus kantor.
“Ini nota barang. Dan ini uang jalan, nanti sisanya ambil di Jambi ya, pak!” ujar bos ekspedisi sambil senyum-senyum.
Ok, bos. Terima kasih, bos.” Tandas Pak Yudi dengan hati senang.
Pak Yudi pun bergegas meninggalkan gudang tersebut setelah diberikan nota barang dan uang jalan. Uang jalan dan nota barang tersebut seperti biasa diberikan ke istrinya untuk dipegang. Pak Yudi pun menghidupkan mesin mobil dan langsung berangkat meninggalkan gudang tersebut.
***
Malam pun tiba lampu-lampu jalan pun telah menerangi kota Jakarta, pelabuhan Merak pun masih lama dan jauh untuk ditempuh. Di malam hari yang sesak itu, Pak Yudi masih mengendarai mobil. Matanya pun masih membelalak tanpa ada rasa lelah dan kantuk sedikit pun. Bagaimana Pak Yudi tidak merasa kantuk? Ada bayi mungil yang lucu dan tidak berdosa ikut bersamanya dan bermain selama dalam perjalanan, tanpa ada terasa lelah Bu Darmi yang memangku bayi itu pun senang sekali.
Waktu pun telah menunjukkan pukul tujuh malam, mata Pak Yudi dan Bu Darmi pun mulai lelah. Pak Yudi pun berhenti di rumah makan untuk beristirahat. Mereka beristirahat didalam mobil, karena di rumah makan itu tidak ada tempat untuk beristirahat, dan dengan terpaksa Pak Yudi, Bu Darmi dan bayi itu tidur didalam mobil. Tetapi mereka membawa bantal dan selimut untuk persiapan. Jadi, mereka tidak terlalu merasa kedinginan dengan angin malam yang menghembuskan dengan tiupan angin yang menusuk kedalam tulang.
“Bu, nanti banguni Bapak jam 4 subuh ya, Bu?” ujar sang suami meminta kepada istrinya.
“Ia, Pak.” Jawab sang istri dengan tuturnya yang lembut.
Waktu terus berjalan, mata Pak Yudi pun terpejam. Bu Darmi pun ikut memejamkan matanya, meskipun matanya terpejam, Bu Darmi masih bisa terbangun karena sang bayi meminta susu.
Semuanya terlihat sunyi hanya bunyi jangkrik yang terdengar, suara mobil lewat pun tidak sekuat siang hari.
***
Malam yang dingin telah berubah menjadi subuh, semilir angin subuh menusuk tulang yang telah tua. Jam di handphone pun telah menunjukkan pukul empat subuh. Bu Darmi pun membangunkan suaminya.
“Pak. Pak. Bangun, sudah jam 4 subuh.” Panggil sang istri dengan nada lembut.
“Hmm.” Pak yudi pun bangun membuka matanya dan menggeliat.
Pak Yudi pun bergegas ke kamar mandi yang ada di rumah makan tersebut dan dia pun mencuci muka agar tidak terasa kantuk lagi dan merasa segar lagi. Setelah selesai mencuci muka, Pak Yudi pun memesan secangkir kopi hangat untuk menyegarkan badannya dan menghangatkan badannya yang terasa dingin. Sembari menikmati secangkir kopi hangat, Pak Yudi memanaskan mesin mobil.
“Bu, mau minum kopi atau teh hangat?” tanya Pak Yudi menawarkan istrinya minuman.
“Teh hangat saja, Pak.” Jawab sang istri sambil menggendong bayi mungil itu.
Pak Yudi langsung pergi memesan secangkir teh hangat untuk sang istri tercinta yang selalu menemaninya dikala suka maupun duka.
Setelah mereka selesai menikmati secangkir teh dan kopi hangat mereka pun bergegas meninggalkan rumah makan itu dan melanjutkan perjalanan, agar mereka cepat sampai pulang ke Jambi.
Selama diperjalanan mereka merasakan kekhawatiran terhadap bayi mungil itu. Mereka bingung harus bagaimana, selama diperjalanan ketemu rumah sakit atau puskesmas selalu mereka hampiri untuk memeriksa bayi mungil yang tak berdaya itu.
Sekian lama perjalanan yang mereka tempuh, akhirnya sampai juga dipelabuhan Merak. Pak Yudi pun membeli tiket kapal untuk nyebrang sampai ke pelabuhan Bakauhuni. Pak Yudi membeli tiket dengan calo yang menjual tiket, meskipun harganya sedikit mahal yang penting Pak Yudi bisa cepat masuk ke dalam kapal itu. Pak Yudi pun langsung menuju salah satu kapal besar yang memuat berpuluh-puluh mobil dan motor serta ratusan orang.
Mobil Pak Yudi pun mengantri untuk memasuki kapal tersebut, sekian lama menunggu akhirnya mobil Pak Yudi lolos juga untuk masuk ke kapal tersebut. Sesampainya didalam dasar kapal tempat mobil-mobil besar berjejer, Pak Yudi pun mematikan mesin mobil. Bu Darmi beserta bayi itu turun dari mobil dan naik ke bagian tempat peristirahatan, sedangkan Pak Yudi masih memeriksa mobilnya dan mengunci pintu mobil agar kejadian yang tidak diinginkan tidak terjadi. Setelah selesai Pak Yudi menyusul istri dan bayi itu di tempat peristirahatan.
Didalam kapal tempat peristirahatan, sang bayi menangis tersedu-sedu. Bu Darmi berusaha mendiamkan bayi itu dan menina boboki bayi itu.
cup cup cup
Tak lilo, lilo lilo ledung, Rama bobok, bobok, bobok sayang.” Lagu pun didendangkan oleh Bu Darmi, sang bayi pun mulai diam dan tertidur.
“Bu, anaknya sakit ya?” tanya salah satu penumpang wanita yang ada disamping Bu Darmi yang sama-sama sedang beristirahat.
“Ia, Bu.” Jawab Bu Darmi singkat.
“Memang sakit apa Bu? Sudah di bawa berobat, Bu?” tanya wanita itu sambil mengelus-elus kepala bayi mungil itu.
“Sudah, Bu. Selama diperjalanan ketemu rumah sakit atau puskesmas kami selalu berhenti dan memeriksa anak saya.” Jawab Bu Darmi dengan nada yang merasakan kelelahan.
“Kasihan sekali anak ini. Berapa bulan anak ini, Bu?” tanya seorang wanita salah satu penumpang yang ada dihadapan Bu Darmi.
“Baru 3 bulan, Bu.” Jawab Bu Darmi yang masih berusaha mendiamkan bayi mungil itu.
Perbincangan pun berakhir, Bu Darmi yang masih menggendong anak itu pun berusaha untuk memejamkan matanya. Tetapi, mata Bu Darmi tidak bisa terpejam. Sedangkan suaminya Pak Yudi sudah terlelap dan sudah sampai ke negeri mimpi.
***
Tanpa terasa kapal mulai merapat, dan mesin kapal pun sudah tidak terdengar lagi. Hembusan angin laut melintasi wajah Pak Yudi, debur ombak dilautan mengiringi langkah Pak Yudi dan Bu Darmi untuk menuju ke mobil mereka. Kapal pun akhirnya sampai juga di pelabuhan Bakauhuni, tidak terasa 3 jam begitu singkat.
Gerbang dasar kapal, dimana mobil-mobil besar berjejer pun terbuka. Para sopir-sopir mobil pun menghidupkan mesin mobil mereka dan mobil pun keluar secara bergantian. Mobil Pak Yudi mendapatkan giliran terakhir keluar dari kapal itu. Sembari menunggu giliran Pak Yudi memeriksa mobilnya, sedangkan Bu Darmi dan bayi tersebut sudah berada didalam mobil.
Giliran mobil Pak Yudi pun telah tiba, Pak Yudi pun meninggalkan dasar kapal tersebut. Tiba-tiba bayi malang itu menangis dengan kerasnya. Bu Darmi bingung, Pak Yudi pun ikut bingung dan cemas.
“Ada apa lagi, Bu? Kok anak kita nangis terus!” tanya Pak yudi bingung.
Gak tahu, Pak.” Jawab Bu Darmi singkat.
Pak Yudi pun menambah kecepatan mobilnya, sehingga mobil itu melaju kencang. Karena kekhawatiran yang dirasakan kedua orangtua itu, dengan terpaksa Pak Yudi melakukannya. Tetapi, Pak Yudi melaju kencang masih bisa mengendalikannya.
Selama diperjalanan seperti halnya selama diperjalanan menuju pelabuhan Merak, setiap kali bertemu rumah sakit ataupun puskesmas sepasang suami istri itu berhenti dan mampir untuk memeriksakan keadaan bayi mereka. Apakah baik-baik saja atau memburuk?
***
Perjalanan yang begitu lama dan jauh mereka tempuh, akhirnya mereka sampai juga di Jambi. Dimana kota yang mereka huni.
Bu Darmi dan bayi itu di turunkan oleh Pak Yudi di depan lorong rumah mereka, tidak jauh dari rumah mereka, sekitar 50 meter dari lorong pinggir jalan.
Baru saja Bu Darmi turun dari mobil sambil menggendong bayi itu, para tetangga heran dan heboh melihatnya. Banyak sekali pertanyaan yang diutarakan oleh tetangga mereka.
Mi, anak siapa yang kau bawa tuh?” tanya Bu Atun salah satu tetangga Bu Darmi yang suka ngegosip.
“Anak akulah.” Jawab Bu Darmi singkat.
Bu Darmi terus saja berjalan tanpa melihat kanan kiri lagi. Dan setibanya di rumah Bu Darmi membuka pintu, ketika masuk ke dalam rumah.
Kara yang sedang asyik menonton film spongebob, menoleh kebelakang dan terkejut, tercengang melihat seorang bayi kurus kering yang hanya tinggal kulit dan tulang digendong oleh Ibunya.
Kara pun berpikir dan hatinya berkata “memang benar, aku punya adik kecil lagi.” Kara pun masih terdiam terpaku dan hanya memperhatikan Ibunya yang terlihat kelelahan.
Tiba-tiba dari belakang Pak Yudi menyusul, dan berkata.
“Ka, ini adik yang Bapak ceritakan kemarin di telpon tuh!”
“Kurus nian, Pak!” tandas Kara singkat.
Bayi itu pun diletakkan diatas kasur kecil yang khusus untuk bayi, Kara hanya memandanginya saja tanpa menyentuh sedikitpun.
Pak Yudi pun mengambil handuk dan bergegas membersihkan badannya, karena selama diperjalanan pulang Pak Yudi tidak sempat mandi. Setelah Pak Yudi selesai mandi, Bu Darmi pun bergegas mengambil handuk dan mandi.
Setelah mereka selesai mandi dan beristirahat, tiba-tiba terdengar suara motor. Dan ternyata Ramadhan pulang dari ngajar drum band di SD 61 Pudak.
Saat Ramadhan membuka pintu dan masuk kerumah dengan sigap, dia pun terkejut melihat bayi yang terbaring tak berdaya diatas kasur bayi, mata bayi itu melotot selayaknya hendak menerkam orang.
“Pak, ini yo yang Bapak bilang di telpon kemarin?” tanya Ramadhan terkejut dengan nafas ngos-ngosan.
Yo, ini bayinyo.” Jawab Bapak Yudi singkat.
“Ya ampun, kurus nian tinggal tulang.” Tandas Ramadhan ketus.
Huss. Baseng bae kau ne dek.” Sambar Kara.
“Ini sekarang jadi adik kalian, anggaplah ini adik kalian sendiri. Jangan pilih kasih.” Ujar Pak Yudi dengan nada lembut memberi pengertian pada anak-anaknya.
Kara dan Ramadhan pun hanya diam saja dan menganggukkan kepala mereka. Karena mereka masih belum terima kenyataan yang mereka hadapi.
Setelah Pak Yudi memberikan pengertian kepada anak-anak mereka. Pak Yudi dan Bu Darmi pun menceritakan semua tentang apa yang terjadi dengan bayi malang itu dan asal-usul bayi tersebut.
***
Semakin hari bayi itu mulai membaik dan badannya pun berisi dan mengembang seperti kue donat yang mengembang.
Dibulan ketiga bayi itu berada di keluarga Pak Yudi, tiba-tiba tubuhnya kejang-kejang dan menangis terus. Kekhawatiran yang telah hilang muncul lagi. Bu Darmi pun menangis melihat keadaan bayi itu, Pak Yudi langsung membawanya ke klinik terdekat. Sesampai di klinik terpaksa bayi itu dirawat inap, karena takut terjadi sesuatu. Keluarga Pak Yudi tidak perduli harus mengeluarkan berapa banyak uang yang penting bayi yang telah dianggap anak mereka sendiri bisa sembuh.
Beberapa hari bayi itu dirawat tidak kunjung sembuh juga, akhirnya bayi itu dibawa ke orang tua yang banyak orang bilang orang pintar. Pak Yudi membawa bayi itu berobat ke orangtua terus menerus sampai sembuh. Akhirnya, bayi mungil pun sembuh. Kekhawatiran ke dua orangtua pun berakhir.
Bulan ketiga bayi mungil yang diasuh kedua orangtua itu, tumbuh menjadi bayi yang sangat kuat dan lucu. Tawa dan isak tangisnya membuat orang yang mendengarnya menjadi gemas terhadap bayi itu.
Saat bayi mungil  sedang bermain dengan Bu Darmi, tiba-tiba ada wanita datang dan langsung membuka pintu tanpa mengucapkan salam.
“Ramanda.” Panggil wanita yang masuk tanpa mengucapkan salam dan mengetuk pintu.
Bu Darmi pun terkejut dan tercengang. Kara pun yang asyik nonton langsung melompong melihat wanita itu, maen masuk saja tanpa mengucapkan salam dan mengetuk pintu.
Samo siapo kau datang, Din?” tanya Bu Darmi terkejut.
“Sendiri Bu.” Jawab wanita singkat dan langsung bergegas mengangkat bayi mungil itu.
Saat wanita yang bernama Dinda itu menggendong bayi mungil itu, bayi mungil tersebut menangis sekuat tenaganya dan mengamuk. Seakan-akan bayi itu takut dengan wanita yang menggendongnya. Kara pun langsung bergegas merampas adik kecilnya, dan mendiamkan bayi itu.
Kara pun berjalan kedapur sambil menggendong bayi mungil itu, dan mendiamkannya. Bu Darmi pun menyusul Kara.
Siapo tu, Bu?” tanya Kara bingung.
“Itulah yang mama Ramanda.” Jawab ibu khawatir.
O, itu toh! Masuk rumah orang sembarangan bae, dak pake acara ketuk pintu dan ngucapi salam lagi. Dak sopan. Dak punyo adab.” Tandas Kara ketus.
Di saat mereka sedang berbincang-bincang, tiba-tiba wanita itu menyusul kedapur. Kara dan Bu Darmi pun terkejut.
“Kau berapo lamo di Jambi, Din?” tanya Kara dengan nada kesal.
“Dua harilah. Soalnya aku kangen sama Ramanda.” Jawab wanita itu dengan wajah seperti orang lolo.
O. lamo nian dua hari.” Jawab Kara sambil bergumam.
Kara pun pergi keluar untuk menghindari bayi itu dari Ibunya. Kara melakukan hal itu karena dia tidak ingin bayi mungil itu menangis.
“Pak, antari Dinda ke tempat Bapaknya Ramanda, yuk!” ajak Dinda membujuk.
Ngapoin kau kesitu, Din? Kato kau dio dak mau tengok anak ini lagi?” Pak Yudi bertanya ragu.
“Kemarin dia ada sms, Pak! Katanya dia mau ketemu sama anaknya.” Dinda menjawab dengan penuh rasa iba.
Yo lah kalau gitu, nanti kito kesano.” Kekesalan Pak Yudi pun menjadi mendalam melihat sikap dan perilaku Dinda.
Pak Yudi, Bu Darmi, Dinda, Kara serta bayi mungil itu pun pergi menuju rumah dimana Ayah dari anak itu tinggal. Yang mana Ayah dari bayi tersebut tidak mau melihat bayi mungil tersebut. Entah apa sebabnya Ayah dari bayi itu tidak mau melihat anaknya.
Sesampainya dirumah dimana tempat keluarga Bapak dari anak itu tinggal, tidak bertemu dengan Bapaknya. Melainkan, hanya bertemu nenek serta tante yang  pernah merawat bayi itu.
Di saat sepasang suami istri itu sampai dirumah tersebut. Tante dan juga neneknya terkejut. Mereka bertanya-tanya “mengapa anak itu ada ditangan sepasang suami istri tersebut” mereka pun tercengang melihatnya.
Assalammualaikum”. Pak Yudi mengetok pintu rumah itu sambil mengucapkan salam.
Waalaikum salam”. Suara wanita yang terdengar  dari dalam rumah menjawab salam dan melangkahkan kakinya kearah pintu rumah serta membuka pintu rumah yang tertutup tadi. Ketika wanita tersebut membukakan pintunya, dia tercengang melihat sepasang suami istri dan bayi yang pernah mereka rawat berada di tangan sepasang suami istri itu.
Wanita pemilik rumah pun mempersilahkan sepasang suami istri itu masuk, dan dari belakang tiba-tiba Dinda menyusul.
Assalammualaikum” ucapan salam yang keluar dari mulut Dinda sambil menerobos masuk kedalam rumah, padahal dia belum dipersilahkan masuk.
Waalaikum…salam” wanita pemilik rumah atau tante yang pernah merawat bayi mungil itu menjawab salam dari Dinda dengan wajah yang bingung dan tercengang dengan kedatangan Dinda yang mendadak.
“Rapli mana, Te?” Dinda bertanya tanpa ragu.
“Kau ngapo kesini, Din? Dak puas kau di maki-maki samo Rapli kemarin?” kata-kata ketus keluar dari wanita pemilik rumah.
“Aku mau ketemu sama Rapli, Te. Aku mau lihati kalau anaknya sudah sembuh dan sehat.” Ujar Dinda menangis.
“Din. Kato kau Rapli mau lihat ini anak. Tapi kok tantenyo bilang dio dak mau lagi tengok kau dan anak kau. Mano yang benar?” pertanyaan dan kata-kata kesal keluar dari bibir Pak Yudi yang sudah geram melihat Dinda.
“Kemarin dia sms Dinda, Pak.” Dinda pun menangis tersedu-sedu.
“Akal-akalan dia saja tu, Pak. Dinda tuh memang seperti itu sifatnya. Dak jelas.” Sahut wanita pemilik rumah kesal.
Wanita pemilik rumah pun menceritakan semua kejadian sebenarnya tentang hubungan Dinda dan Rapli. Ternyata, mereka berdua menikah dikertas satu lembar hitam diatas putih. Kalau dalam agama disebut nikah sirih, nikah yang dibolehkan oleh agama tapi tidak dibolehkan oleh hukum dan dalam pemerintahan. Mereka menikah pun tidak direstui oleh keluarga dari Rapli.
Oleh sebab itu, setelah anak mereka lahir. Mereka bercerai. Anaknya pun diambil oleh keluarga dari Rapli. Tetapi, disaat mereka mau mengurusnya ternyata mereka tidak sanggup untuk memelihara serta membesarkan bayi itu.
“O, jadi gitu toh ceritanya.” Pak Yudi menjawabnya dengan nada santai.
“Jadi sekarang mau ngapoin lagi, Din? Rapli sudah dak mau terimo kau lagi. Sekarang terserah samo kau, anak ini apo masih mau ditemukan samo Bapaknyo apo idak? Semuanyo terserah samo kau, keputusan ado di kau.” Pak Yudi menanyakan kepada Dinda dengan rasa kesal dan kecewa.
“Tapi ini masih ada sms dari Rapli, Pak! Dia mau ketemu sama anaknya karena dia kangen.” Dinda masih menyangkal kesalahannya dan dia melihatkan isi sms itu ke Pak Yudi.
“Sudahlah, Din! Dak usah nyangkal lagi. Kau tuh…” ucapan dari pemilik rumah itu pun terhenti dengan seketika dan dia juga masih menyalahkan Dinda.
Akhirnya terjadilah peperangan mulut antara Dinda dan pemilik rumah itu atau tante dari Rapli yang pernah mengasuh bayi mungil yang tak berdosa itu.
***
Matahari yang sangat panas hingga menyentuh tulang dan sendi-sendi. Akhirnya, mereka sampai juga kerumah. Pak Yudi pun merebahkan badannya diatas tikar pandan yang dingin. Bu Darmi pun langsung menuju meja makan untuk membuatkan susu buat si kecil. Sedangkan Dinda dan Kara masuk kekamar dan merebahkan badan mereka untuk melepaskan rasa lelah.
Bu Darmi yang sedang asyik menggendong dan memberikan susu pada si kecil. Tiba-tiba Dinda datang dari arah kamar menghampiri Bu Darmi dan bayi mungil itu. Dengan seketika teriakan dan tangisan keluar dari mulut si kecil.
Pak Yudi yang sedang asyik tidur-tiduran langsung kaget dengan seketika. Dan berteriak “Ado apo, Bu? Kok nangis kek gitu.
Gak ada apa-apa kok, Pak!” Dinda langsung menjawabnya.
Pak Yudi pun langsung bangun dan menghampiri suara yang terdengar tangisan tersebut. Dan ternyata, tangisan itu disebabkan oleh Dinda. Bayi mungil yang tak bersalah itu berada di tangan Dinda. Padahal, bayi mungil itu tidak mau digendong oleh Ibu kandungnya. Entah mengapa hal itu bisa terjadi. Bayi memiliki kekuatan batin dan perasaan yang kuat.
Bayi mungil itu merasa dia pernah diterlantarkan oleh Ibu kandungnya sendiri. Bahkan, bayi mungil  itu tahu bagaimana sifat dan sikap Ibunya sendiri. Oleh sebab itu, bayi mungil itu tidak mau bersama Ibunya sendiri yang melahirkannya. Bayi mungil itu sudah merasa bahagia. Apalagi dia berada ditengah-tengah keluarga yang bisa menerima, merawat serta memberikan kasih sayang terhadap dirinya. Selain itu, bayi mungil itu juga mendapatkan kebahagiaan yang belum pernah dia rasakan dari lahir.
“Din, kasih anak itu sama Ibu. Apo kau dak kasian samo anak itu nangis terus.” Pak Yudi menyuruh Dinda dengan nada marah.
“Berisik.” Teriak Kara yang terkejut dan terbangun dari tidurnya.
Kara pun langsung keluar dari kamar, dia pun menghampiri Dinda dan membentaknya. “Berisik tau dak? Orang lagi tiduk. Kau jugo Din, anak lagi diam kau tangisi. Dak berisik apo kau dengarnyo.”
Dinda tidak perduli dengan apa yang dikatakan oleh Kara. Dia masih saja menggendong bayi itu.
Susah yo ngomong samo orang lolo.” Kara kesal melihat sikap Dinda.
Pak Yudi dan Bu Darmi hanya bisa diam saja. Karena dia tahu kalau Kara sudah marah kata-katanya sangat pedas melebihi cabe rawit.
***
Waktu terus berputar, hari pun telah berganti. Siang itu di hari kedua, wanita itu pun mau pulang ke Jakarta. Dia pun pamitan dengan Pak Yudi dan Bu Darmi, disaat dia pamitan, dia tidak memiliki rasa malu meminta uang untuk ongkos pulang ke Jakarta. Kara pun tercengang dan terkejut mendengar ujaran wanita itu meminta uang. Dengan wajah tanpa dosa dan mengiba, wanita itu berkata “Bu, Pak. Dinda, tidak ada uang untuk ongkos pulang. Dinda minta uang Bu.”
Bu Darmi dan Pak Yudi pun terkejut dengan ujaran yang dikeluarkan dari mulut wanita itu.
“Mau berapa banyak uangnya?” tanya Pak Yudi kesal.
“Rp. 300.000,- saja Pak.” Jawab wanita itu dengan wajah yang tidak punya malu.
“Bu, kasih uangnya.” Sahut Pak Yudi menyuruh Bu Darmi.
Kara pun kesal, dia marah. Wajahnya pun dikerutkannya, tanpa ada senyuman yang terhias diwajahnya. Kara melihat wanita itu dengan wajah sinis, wanita itu menegur pun tak dihiraukannya. Kekesalan yang membuat hati Kara panas, sehingga dia mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya dikeluarkan oleh seorang wanita.
Dasar wanita dak tahu diri, enak be dio minta-minta duit. Emangnya dio siapo? Aku be minta duit Rp 5.000,- susah nian, harus bantu-bantu dulu. Eh, dio malah maen minta bae.” tandas Kara bergumam dengan nada kesal.
Tanpa disengaja, Bu Darmi mendengar kata-kata yang diujarkan oleh Kara.
Huss, dak baek ngomong gitu.” tandas Bu Darmi sambil berbisik-bisik.
Tidak lama kemudian, Dinda melangkahkan kakinya keluar rumah.
“Bu, Pak. Dinda pulang ya? Dinda titip Ramanda.” Tandas wanita tidak tahu malu itu sambil berjalan.
Pak Yudi dan Bu Darmi hanya mengganggukkan kepalanya saja tanpa mengeluarkan kata-kata sedikit pun.
“Memang wanita tidak tahu malu, katanya ikhlas berikan anaknya. Eh, malah nongol lagi. Dak jaleh. Besok-besok datang lagi tuh! Dikasih hati pasti minta jantung. Dio bilang gak bakalan lihat Ramanda kok. Eh, malah nongol batang hidungnya. Dasar betino plin plan.” Ujar Kara kesal.
“Sudahlah, itu betino dak waras memang gitu.” Tandas Pak Yudi mencela sambil senyum-senyum.
Kepergian Dinda pun, membuat hati keluarga Pak Yudi tenang. Kara pun tidak lagi menceritakan tentang Dinda lagi. Kekesalan yang dirasakan oleh Kara, membuat dirinya menjadi penggosip.
Hari terus berganti. Lima bulan bayi mungil itu diasuh telah berlalu. Kini pun telah memasuki bulan ketujuh, dan usia bayi itu pun telah berusia 8 bulan. Rencana yang telah dirancang bulan lalu pun telah mendekati, keluarga Pak Yudi memiliki rencana untuk syukuran atas bayi itu dan mengubah nama bayi mungil yang tidak berdaya itu menjadi Rizky. Yang mana nama tersebut memiliki arti yang sangat dalam sekali, agar anak tersebut selalu memberikan rezeki kepada keluarga Pak Yudi.
Melalui bayi itu, Pak Yudi pun dengan mudah mendapatkan berkah dan karunia dari Allah Swt. Semua yang direncanakan untuk bayi itu sudah matang sekali dan sudah pas. Acara yang telah direncanakan pun besar-besaran, hiburannya pun siang malam. Acara syukuran itu pun seperti acara pernikahan saja.
Acara yang telah direncanakan pun telah tiba, tepatnya pada hari sabtu di awal bulan maret. Tepatnya lagi tanggal 5 maret 2010. Semua yang telah diatur sedemikian rupa dan telah disusun semaksimal mungkin berjalan dengan lancar dan sukses. Dari acara siang sampai acara malam harinya, berjalan dengan lancar. Lauk pun tidak ada yang berkurang, melainkan lebih dari yang diperkirakan. Bahkan, lauk yang masih sisa banyak diberikan ke panti asuhan dan tetangga-tetangga di sekitar rumah Pak Yudi. Tak lupa pula mereka pun membagikan lauk yang berlebih itu ke keluarga besar dari Bu Darmi dan Pak Yudi.
Pak Yudi beserta keluarganya merasa heran dan terkejut setelah tahu lauknya masih sisa banyak. Mereka merasa seakan-akan rezeki itu melimpah ruah. Semenjak, bayi mungil diasuh oleh keluarga Pak Yudi, yang memberikan kasih dan sayangnya seolah-olah anaknya sendiri. Dari sanalah rezeki yang melimpah ruah itu datang. Keluarga Pak Yudi pun bersyukur atas kehadiran bayi mungil yang tak berdosa itu, ditengah-tengah keluarga Pak Yudi.
Acara pun telah berlalu, waktu yang terus berputar menghantarkan keluarga Pak Yudi ke usia bayi yang beranjak 10 bulan. Di usia itu, bayi mungil yang tak berdosa itu belajar untuk melangkahkan kakinya. Langkah kaki yang masih kaku dan lemah itu, membuat keluarga Pak Yudi geram dan ingin selalu menggendong bayi itu.
Melihat keluguan bayi mungil itu, Kara tak rela untuk melepasnya. Meski kasih sayang orangtuanya harus dibagi lagi. Tapi, terkadang Kara sering mengeluh dengan melihat tingkah laku adik kecilnya yang nakal dan cengeng itu. Apalagi semenjak bayi mungil itu sudah pandai merangkak dan belajar berjalan. Semakin Kara dibuat kesal olehnya. Tapi, meskipun seperti itu Rizky juga adiknya meski bukan adik kandung yang dilahirkan dari perut Ibunya.
***
Siang hari yang begitu panas, mentari memancarkan panasnya hingga membakar kulit. Kara yang sedang menikmati tidur siangnya harus terbangun dan terkejut mendengar tangisan yang begitu keras dan membuat hati menjadi iba.
Meskipun tangisan bayi itu semakin kuat, Kara tak perduli. Matanya yang begitu lelah membuat Kara melanjutkan tidur siangnya. Walaupun Kara tidur siang tetap saja tidak gemuk badannya.
“Ka, bangun lagi. Tidur saja kerjaannya.” Teriak Ramadhan adik Kara sambil menarik bantal yang dikenakannya untuk tidur.
Ais, reseh nian. Dak ngenak-ngenaki orang tiduk be.” Tandas Kara menyabetkan tangannya ke muka adiknya.
“Bu, mbak dak galak bangun.” Teriak adiknya memanggil sang Ibu.
“Ka. Bangun. Jaga adik. Ibu mau masak.” Teriak sang Ibu membangunkan Kara.
Kan, ado Ramadhan jugo. Masak nak aku nian.” Tandas Kara menggerutu.
“Mad, jago adik Iky. Ibu mau masak sebentar.” Ujar Ibu kesal.
Alamak, masak aku. Aku nih nak pegi ngajar drum band.” Tandas adik Kara ketus.
“Mbak, bangunlah lagi.” adik Kara mulai kesal.
Ais, malas nean.” Tandas Kara menggerutu.
Kara pun bangkit dari tidurnya dan langsung menggendong Iky. Disaat Kara sedang menggendong Iky, tiba-tiba ada seorang wanita langsung masuk saja ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam. Kara pun terkejut dan tercengang. Ternyata wanita yang tidak punya sopan santun itu adalah Ibu dari bayi mungil yang bernama Rizky.
Wanita itu langsung saja merampas Iky dari tangan Kara. “Anak Bunda sudah besar sekarang.” Ujar wanita sambil menciumi bayi mungil itu.
Bayi mungil itu pun menangis kuat dan tersedu-sedu. Bayi itu menangis sekencang mungkin dan tidak mau berhenti. Bahkan, bayi itu tidak mau diam digendong oleh Ibu kandungnya. Bayi itu hanya tau kalau Bu Darmilah Ibu kandungnya.
“Jangan nangis ya sayang!” ujar wania itu yang masih menggendong bayi mungil yang tak berdosa itu.
“Sini, Din! Nanti malam anak ini ngigau. Jangan dipakso digendong.” Ujar Bu Darmi sambil mengambil bayi itu dari tangan Dinda.
Wanita itu pun menyerahkan Iky ke Bu Darmi, dan dengan seketika Iky pun diam serta tertawa-tawa dan menangis lagi. Dinda pun heran melihat anaknya diam digendong oleh Bu Darmi, sedangkan kalau digendong olehnya anak itu menangis tersedu-sedu tanpa diam sedikitpun.
Dengan seketika, Kara langsung menelpon Bapaknya yang sedang pergi membeli peralatan mobil.
“Hallo, Pak. Dinda datang lagi nih!” ujar Kara buru-buru dengan nada emosi.
“Ngapoin lagi dio datang, katonyo dak mau lagi datang tengok anaknyo. Udah ikhlas ngasih. Tapi kok masih datang jugo. Apo mau dio tu?” tandas Bapak dengan nada kesal.
Dak tau lah, Pak. Mangkonyo Bapak cepat balek. Tanyo samo dio, apo maunyo. Mungkin nak ngambek Iky dak, Pak?” Ujar Kara kesal.
Telpon pun di tutup. Kara langsung mendekati Ibunya dan wanita itu.
Ngapoin lagi kau kesini, Din?” tanya Kara ketus.
“Aku cuma mau lihat anak aku saja. Aku kangen sama anak aku.” Dinda  menjawab dengan nada lembut.
Kato kau dak galak lagi tengok anak kau.” Tandas Kara menyindir.
Huss, baseng bae kau nie Ka.” Sahut Ibu berbisik.
Biaklah Bu, biak dio tau. Jadi orang kok plin plan, kalau nak ambek anaknyo bilang. Ini idak, nongol terus bosan tengoknyo.” Tandas kara kesal sampai bibir atasnya naik.
“Aku jugo kesini mau bilang ke tante dan neneknya Rapli, kalau Aku dak jual Ramanda.” Dinda menangis tersedu-sedu.
Lagi asyik-asyik mereka ngobrol, terdengar suara motor. Ternyata Pak Yudi pulang dari mencari peralatan mobil.
Ado apo, Din?” tanya Pak Yudi sambil berjalan masuk ke dalam rumah dan mendekati Dinda.
Gak ada apa-apa, Pak! Cuma kangen saja sama Ramanda.” Jawab Dinda lembut.
Kato kau, dak mau lagi nengok anak kau.” Tandas Pak Yudi menyindir.
“Aku kangen sama Ramanda, Pak.” Ujar Dinda melas.
Bukannya dak boleh kau kangen samo anak ini. Tapi, kasihan dengan perkembangan anak ini. Anak ini nanti bingung, dan bertanya-tanya. Kau bilang ikhlas ngasih anak ini, tapi kau tengok terus. Kalau kau nak ambek anak ini, ambeklah. Cuma aku minta ganti rugi beli susu samo ngurusnyo bae. Bukan enak ngurus anak bayi neh! Repot.” Ujar Pak Yudi kesal sambil mengerutkan dahinya dengan nada lembut.
Dinda pun terdiam, karena mendengar ucapan dari Pak Yudi.
Kau jangan takutlah, Din. Anak kau nih sudah dianggap seperti anak sendiri. Hidupnyo samo pertumbuhannyo bakalan terjamin. Jadi, kau jangan takut. Kau dak kasian tengok anak kau? Anak kau neh sering sakit-sakit kalau kau tengok terus. Kau tenanglah, besok kalau sudah besak pasti kami kasih tahu siapo Mak Bapak kandungnyo. Kami sudah berusaha nutupi status anak ini, biak besaknyo dak diejek samo kawan-kawannyo. Tapi, kayaknyo kau neh dak biso dibilangi. Sekarang terserah kaulah, kami dak biso berbuat apo-apo lagi.” ujar Pak Yudi lembut dan memberi pengertian pada Dinda.
“Tenanglah, Pak. Aku gak bakal ambil anak ini. Aku sudah ikhlas berikan anak ini pada Bapak dan Ibu. Aku kesini lagi mau ketemu sama tante dan neneknya Rapli. Aku dapat sms katanya aku jual anak aku sama Pak Yudi.” Dinda menangis tersedu-sedu.
Waktu itu kan, kito sudah nemui orang tu dak? Kato orang tu mereka dak perduli lagi samo kau dan anak kau. Ngapo kau masih nak kesano jugo?” Pak Yudi kesal.
“Dengar dulu, Pak! Ini sms dari tantenya Rapli. Kata dia, aku jual anak aku sama Bapak. Mangkanya aku kesini lagi untuk ngajak Bapak ketempat tante Rapli. Untuk menjelaskan kalau aku gak jual anak ini sama Bapak. Aku gak terima, Pak. Dibilang jual anak.” Dinda kesal dan menangis tersedu-sedu.
“Waktu itu kan, Bapak juga sudah ngomong sama mereka kalau anak ini tidak Bapak beli melainkan diberikan dengan ikhlas oleh Dinda sendiri. Dinda kan dengar sendiri apa yang Bapak katakan sama mereka.” Pak Yudi berusaha memberikan penjelasan ke Dinda dan menenangkan Dinda yang terlihat kesal dan marah dengan tuduhan tersebut.
“Ya, Pak.” Dinda menjawab dan menundukkan kepalanya dengan mata yang sembab.
Syukurlah kalau gitu, sekarang yang sudah-sudahlah. Jangan kau ulangi lagi. Dengar tu, Din?” Pak Yudi mulai meredamkan  kekesalannya.
***
Setiap kali Ibu dari bayi itu datang mengunjungi Rizky, orangtua angkat yang mengasuhnya yang mana Rizky sudah dianggap menjadi anaknya sendiri sempat merasakan kekecewaan yang mendalam. Padahal, orangtua beserta anak-anaknya itu sudah menerima bayi itu dengan ikhlas, bahkan kasih sayang mereka telah diberikan kepada bayi mungil yang tak berdosa itu. Akibat dari sikap dan sifat ibunya, orangtua dan anak-anaknya selalu menceritakan bayi mungil yang tak berdosa itu. Sehingga kehadiran Rizky menjadi bumerang bagi kehidupannya dan pertumbuhannya.
Apalagi setiap kali anak itu dilihat oleh Ibu kandungnya, anak itu selalu sakit dan menangis tanpa hentinya. Sehingga bayi itu terpaksa harus dirawat dirumah sakit, karena sakitnya tidak kunjung sembuh.
            Ketika mentari mau terbenam dan berganti dengan bulan. Tiba-tiba, bayi mungil itu badannya panas tinggi dan kejang-kejang. Bu Darmi pun panik. “Pak! Pak! Iky, Pak!” Ibu berteriak sambil menangis.
            “Ada apa sih, Bu? Teriak, teriak kayak kebakaran jenggot aja.” Pak Yudi pun menghampiri istrinya.
            Bu Darmi menangis hingga suaranya serak. “ Pak, Iky badannya panas tinggi.”
            “Ya, dikasih obat dong, Bu! Susah benar.” Pak Yudi masih santai saja.
            “Sudah, Pak! Tapi panasnya makin tinggi.” Bu Darmi masih menangis sambil menggendong anak itu.
            Bayi mungil itu semakin tinggi panasnya, tangisan bayi itu pun semakin keras sehingga tersedak-sedak. Dan tiba-tiba.
            “Pak! Pak! Anak kita kejang-kejang, Pak!” Bu Darmi panik dan menangis.
            Pak Yudi pun  ikut panik, dan bingung harus berbuat apa. Dan akhirnya dia mengeluarkan motor dan berkata “Ayo, Bu! Kita bawa anak kita ke klinik Bhakti Lestari.”
            Klinik tersebut tidak jauh dari rumah, mereka hanya menempuh dengan waktu lima belas menit saja. Kara yang baru selesai dari shalatnya merasa bingung dan terkejut melihat orangtuanya panik. Apalagi melihat Ibunya menangis sambil menggendong bayi mungil itu.
            “Sebenarnya ada apa sih? Kok Ibu nangis sampe segitunya. Gak biasa-biasanya.” Hati Kara bingung dan bertanya-tanya, tanpa basa basi lagi dia langsung menuju kearah kedua orangtuanya dan bertanya “Ada apa sih, Pak Bu?”
            “Adik kamu, ka. Dia kejang-kejang.” Ibu menjawab dengan terbata-bata.
            “Apa? Kita harus segera membawanya berobat, Bu.” Kara pun panik dan meneteskan air matanya. Kara langsung menelpon adiknya untuk cepat pulang kerumah.
            “Ayo Bu, cepat!” Pak Yudi mengajak Bu Darmi sambil menghidupkan motornya.
            Mereka pun langsung pergi menuju klinik terdekat. Mereka terpaksa membawa bayi mungil itu ke klinik terdekat. Karena mereka takut terjadi apa-apa, apabila mereka membawanya kerumah sakit. Rumah sakit didaerah tempat tinggal mereka tidak ada yang dekat, semua rumah sakit jauh dari rumah mereka.
            Setelah sampai di klinik, Bu Darmi langsung lari masuk ke dalam ruangan perawatan dan memanggil dokter. “Pak! Tolong anak ini. Panasnya tinggi sekali, badannya juga kejang-kejang.” Bu Darmi meminta tolong kepada Dokter yang ada di klinik itu untuk memeriksa dan menyelamatkan anak itu.
            “Sabar, Bu!” ucapan yang keluar dari bibir dokter itu.
            “Sabar, sabar, sabar gimana Pak? Anak ini sudah hampir mau mati, masak disuruh sabar.” Pak Yudi mengamuk dan marah-marah.
            Dengan seketika datang suster mengambil impus dan memberikan obat pada bayi itu. Dokter pun berkata “Pak, Bu. Anak ini lebih baik dirawat saja. Takutnya nanti ada apa-apa dengan anak ini kalau Cuma diberikan obat saja.”
            “Baiklah kalau begitu, Dok! Mana bagusnya saja. Mana yang terbaik untuk anak ini.” Pak Yudi mulai merasa lega.
            Kara dan Ramadhan pun datang dengan kepanikannya dia mencari ruangan dimana orangtuanya berada. Setelah ketemu dimana ruangan yang dicari-cari, Kara pun langsung bergegas menghampiri dan bertanya kepada orangtuanya “Pak, Bu. Gimana keadaan Iky?”
            “Alhamdulillah sudah mulai membaik. Tapi Iky harus dirawat.” Pak Yudi menenangkan Kara yang panik.
            “Apa? Dirawat? Tapi, syukurlah tidak terjadi apa-apa.” Kara terkejut.
            “Kata dokter apa pak?” Ramadhan bertanya kepada ayahnya dengan santai seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
            “Kata dokter, Iky dirawat beberapa hari. Untuk memastikan dia sebenarnya sakit apa. Kalau dua atau tiga hari ini dia tidak kejang-kejang dan panas tinggi, dia boleh pulang kok.” Jawab Pak Yudi santai.
            “Syukurlah kalau begitu. Cepat sembuh ya, dek?” Kara pun langsung mengucapkan syukur dan mendekati adiknya sambil mengusap kepalanya.
            Tiba-tiba Iky tertawa ceria. Dia tidak perduli sakit dan tangannya di impus. Iky hanya menyenangkan dirinya, dengan bermain bersama Pak Yudi dan Bu Darmi. Di dalam ruangan AC yang begitu dingin, dia tidak perduli. Dia terus saja bermain dan bergurau dengan Pak Yudi dan Bu Darmi.
            Kara pun merasakan iri terhadap Iky, karena Iky selalu dimanja dan diperhatikan. Sedangkan dia di cueki. Tapi, Kara berusaha untuk mencari yang positif. Kara tidak ingin kesalahpahaman muncul, karena orangtuanya perhatian dan sayang terhadap Iky.
            Ramadhan pun mengompor-ngompori Kara dengan perkataan yang membuat kakaknya merasa cemburu dengan Iky. “Mbak. Lihat itu, Ibu dan Bapak! Perhatian dan sayang nian sama Iky. Sedangkan kita, anaknya di cueki. Dianggap seperti tidak ada, padahal kita kan dari tadi disini.”
            “Sudahlah, dek! Biarlah mereka seperti itu. Kita kan sudah besar-besar. Jadi wajarlah.” Kara berusaha berpikir positif dan memberikan penjelasan kepada Ramadhan adik kandungnya.
            “Terserah mbak lah, dikasih tau dak mau. Ya sudah.” Ramadhan mulai kesal.
            “Kau nih! Kalau dibilangi baek-baek, marah-marah.” Kara masih berusaha sabar dan member pengertian pada adiknya.
            Kara berusaha mengambil perhatian kedua orangtuanya yang asyik bermain dan bergurau dengan Iky. “Bu, Pak.  Sudah makan belum?”
            “Gak selera makan.” Bu Darmi masih saja sibuk bermain dan bergurau dengan Iky. Dia tidak perduli anaknya bertanya.
            “Bu, makanlah! Nanti sakit. Sudahlah Iky sakit.” Pak Yudi pun ikut menyuruh  Bu Darmi untuk makan.
            “Ya sudah kalau gitu, biar Ka belikan makanan dilura.” Kara pun menawarkan diri dan berusaha mencari perhatian kedua orangtuanya.
            “Belilah nak. Ini uangnya. Beli nasi bungkus sama gorengan ya?” Pak Yudi pun memberikan uang ke anaknya. Tanpa berpikir panjang Kara pun langsung bergegas keluar untuk membeli makanan yang telah dipesan oleh Bapaknya.
            Selama tiga hari dua malam Iky dirawat di klinik, badannya mulai berisi. Yang semula badannya hanya tinggal tulang dan kulit saja, sudah mulai terlihat ada daging yang menutupi tulangnya sehingga kulitnya tidak kelihatan kendor dan keriput seperti kakek-kakek yang sudah renta.
            Ibu dan Ayah dari anak itu, sangat senang sekali melihat Iky gembira dan tersenyum. Bahkan, selama anak itu dirawat dia tidak merasakan kalau dia sedang sakit. Melainkan, bayi mungil yang tak berdaya itu selalu aktif dan senang berada diruangan rawat inap tersebut. Yang lebih anehnya lagi, dia tidak merasakan dinginnya AC yang hidup diruangan itu, melainkan badannya penuh dengan keringat seperti orang mandi.
            Di hari ketiga, dokter yang menangani penyakit Iky datang untuk memeriksa. Dokter pun menyatakan bahwa bayi mungil yang lucu dan aktif itu diizinkan pulang, karena keadaannya sudah membaik, bahkan lebih baik dari sebelumnya.
***
            Kehidupan Rizky, bayi mungil yang tak berdosa ini. Membuat semua orang menjadi iba kepadanya. Apalagi dengan keadaan Ibu kandungnya yang bernama Dinda adalah seorang wanita kupu-kupu malam. Nasib bayi mungil itu sungguh malang. Bahkan, kehadiran bayi mungil itu sempat tidak diinginkan kelahirannya oleh Ibu kandungnya. Karena dia bingung siapa yang harus bertanggung jawab atas anak itu.
Wanita itu sempat merasakan pernikahan. Tetapi, pernikahan tidak sah dimata hukum. Karena dia hanya nikah sirih, nikah dengan kertas satu lembar itu pun menggunakan kertas HVS. Hanya bertuliskan hitam diatas putih.
Kepahitan yang dialami oleh anak yang berasal dari kota yang begitu keras, yang sering disebut-sebut orang kota metropolitan yaitu kota Jakarta, akhirnya hanya meninggalkan kenangan dan cerita saja bagi bayi mungil itu yang tidak berdosa itu. Akibat perbuatan orangtuanya, bayi yang tak berdosa itu harus menanggung akibatnya.
Seperti lirik lagu yang dinyanyikan oleh Wawa Marisa yang berjudul Si Kecil. “Kapankah dia bahagia, kapankah dunia menjadi miliknya.”
Itulah kutipan lagu sebagian liriknya mengandung arti yang sangat mendalam buat nasib seorang bayi kecil mungil yang tak berdaya. Yang harus merasakan kepahitan dunia.


 



                                                  

0 komentar:

Posting Komentar

 
3

Sample text

Sample Text